Yang bisa menjadi na’ibul fa’il adalah salah satu dari,[1]
a. Maf’ul bih, seperti (يُكْرَمُ الْمُجْتَهِدُ).
Ketika dalam kalam ditemukan maf’ul bih, maka tidak boleh
perkara yang lain menggantikan tempatnya fa’il yang dibuang ketika ada maf’ul
bih, karena dia lebih berhak untuk menjadi pengganti, karena fi’il lebih
membutuhkan maf’ul bih dari yang lainnya. Namun, terkadang lafal yang dijerkan
dengan huruf jer menjadi na’ibul fa’il padahal disitu ada maf’ul bihnya, tetapi
hukumnya qalil, seperti (لِيُجْزَى قَوْماً بِماَ
كَسَبُوا) menurut salah
satu qira’ah.
Ketika fi’il
tersebut mempunyai dua maf’ul atau tiga, maka maf’ul yang pertama kita
tempatkan menggantikan tempatnya fa’il yang dibuang dan maf’ul yang lainnya
tetap dibaca nashab, seperti (اُعْطِيَ الْفَقِيْرُ دِرْهَماً), (ظُنَّ زُهَيْرُ
مُجْتَهِداً), (دُرِيْتَ وَفِيًّا
بِالْعَهْدِ) dan (اُعْلِمْتَ الْأَمْرَ وَاقِعاً). Dan diperbolehkan menjadikan na’ibul
fa’il dari maf’ul kedua dari bab (اَعْطَى), jika memang diamankan dari keserupaan,
seperti (كُسِيَ الْفَقِيْرَ ثَوْبٌ). Akan tetapi, jika terjadi keserupaan,
maka yang boleh menjadi na’ibul fa’il hanya maf’ul pertama, seperti (اُعْطِيَ سَعِيْدٌ
سَعْداً) ketika yang kita inginkan adalah yang
mengambil adalah Sa’ad dan yang diambil adalah Sa’id.
b. Lafal yang dijerkan dengan
menggunakan huruf jer, seperti (نُظِرَ فِي
الْأَمْرِ), dengan
syarat huruf jer itu tidak untuk ta’lil, sehingga tidak boleh diucapkan,
(وُقِفَ لَكَ),
kecuali ketika kita jadikan na’ibul fa’ilnya berupa dlamir (الوُقُوفُ) yang dimafhum dari lafal (وُقِفَ), sehingga takdiran-nya (وُقِفَ الْوُقُوفُ
الَّذِي تُعْهَدُ لَكَ).
Ketika jer-majrur menjadi na’ibul fa’il, maka dikatakan
dalam i’rabnya bahwa lafal itu dibaca jer secara lafdzi dan rafa’ mahall-nya,
namun jika lafal itu mu’annats maka fi’ilnya tidak boleh dimu’annatskan, tetapi
ditetapkan mudzakar. Diucapkan (ذُهِبَ بِفَاطِمَةِ), tidak boleh diucapkan (ذُهِبَتْ بِفَاطِمَةِ).
c. Dzaraf mutasharrif yang mukhtash,
seperti (مُشِيَ يَومٌ كاَمِلٌ).
Arti dari dzaraf mutasharrif adalah dzaraf yang
bisa menjadi musnad ilaih, seperti (يَومٌ). Sedangkan, dzaraf ghairu mutasharrif
adalah dzaraf yang tidak bisa menjadi musnad ilaih, sehingga dia hanya
bisa menjadi dzaraf saja tidak bisa menjadi yang lainnya, seperti (حَيْثُ).
Dzaraf yang mutasharrif tidak boleh menggantikan
tempatnya fa’il kecuali jika bersama ke-mutasharrifan-nya itu dia juga harus
mukhtash, artinya bisa memberikan faidah tidak samar. Yaitu dengan di-takhshish
dengan sifat, (جُلِسَ مَجْلِسٌ مُفِيْدٌ) atau dengan idlafah, (سُهِرَتْ لَيْلَةُ
الْقَدْرِ), atau dengan sifat
‘alam (menjadi nama), (صِيْمَ رَمَضَانُ). Sehingga dzaraf yang mubham yang
tidak mukhtash, tidak boleh menggantikan tempatnya fa’il yang dibuang, (زَماَنٌ).
d. Masdar mutasharrif yang mukhtash,
seperti (اُحْتُفِلَ اِحْتِفَالٌ عَظِيْمٌ).
Masdar yang mutasharrif adalah masdar yang bisa
menjadi musnad ilaih, seperti (اِكْرَامٌ). Sedangkan, masdar ghairu mutasharrif
adalah masdar yang tidak sah jika menjadi musnad ilaih, karena dia hanya
boleh dibaca nashab saja menjadi masdar, artinya sebagai maf’ul mutlak, (سُبْحاَنَ اللهِ) dan (مَعَاذَ اللهِ).
Masdar yang mutasharrif tidak bisa menggantikan
tempatnya fa’il yang dibuang kecuali bersama ke-mutasharrifan-nya itu
dia juga harus mukhtash, artinya harus bisa memberikan faidah tidak mubham
atau samar. Adakalanya di-takhshish dengan sifat, (وُقِفَ وُقُوفٌ
طَوِيْلٌ), atau dengan
menjelaskan hitungan, (نُظِرَ فِي الْأَمْرِ نَظْرَتَيْنِ), atau dengan menjelaskan bentuknya, (سِيْرَ سَيْرُ
الصَّالِحِيْنَ). Terkadang
dlamirnya masdar mutasharrif yang mukhtash menggantikan fa’il
yang dibuang, seperti ketika diucapkan (هَلْ كُتِبَتْ
كِتاَبَةٌ حَسَنَةٌ ؟) lalu kita
menjawabnya (كُتِبَتْ).
Sehingga, na’ibul fa’ilnya adalah dlamir mustatir yang kembali kepada (كِتاَبَةٌ).
Ketika dalam kalam tidak ditemukan maf’ul bih, maka diperbolehkan
untuk menjadi pengganti dari fa’il yang dibuang adalah salah satu dari ketiga
pengganti itu (jer-majrur, masdar mutasharrif mukhtash dan dzaraf mutasharrif
mukhtash) secara sama derajatnya, artinya derajat ketiganya sama, boleh
mana saja yang didahulukan untuk menjadi penggantinya fa’il.
No comments:
Post a Comment