Fi’il
mudlari’ dibaca nashab ketika didahului oleh salah satu dari ‘amil Nawashib
dibawah ini, yang penashaban itu adakalanya lafdzi, seperti (لَنْ اَقُولَ اِلاَّ
الْحَقَّ), atau taqdiri,
seperti (لَنْ اَخْشَى اِلاَّ
اللهَ) atau mahalli, jika fi’il tersebut
mabni, seperti (لَأَجْتَهِدَنَّ).[1]
Amil
yang bisa menashabkan fi’il mudlari’ adalah,[2]
a. (اَنْ), yang merupakan huruf mashdariyyah,
nashab dan istiqbal.
Dinamakan
huruf mashdariyyah karena huruf itu bisa menjadikan lafal setelahnya
dita’wil masdar. Dinamakan huruf istiqbal karena huruf itu menjadikan
fi’il mudlari’ murni untuk zaman mustaqbal (zaman yang akan datang) yang
sebelumnya zamannya bisa untuk zaman sekarang atau zaman mustaqbal. Dan
dinamakan huruf nashab karena huruf itu bisa menashabkan fi’il mudlari’
yang ada dibelakangnya. Contohnya adalah (يُرِيْدُ اللهَ اَنْ يُخَفِّفَ
عَنْكُمْ) dengan di-ta’wil
menjadi (يُرِيْدُ اللهُ التَّخْفِيْفَ عَنْكُمْ).
1) Tidak jatuh setelah fi’il yang
bermakna yakin. Jika jatuh setelah fi’il yang bermakna yakin, maka (اَنْ) adalah peringanan dari (اَنَّ) dan fi’il mudlari’ setelah (اَنْ) dibaca rafa’, seperti (اَفَلاَ يَرَوْنَ
اَنْ لاَ يَرْجِعُ اِلَيْهِمْ قَولاً)
2) Tidak jatuh setelah fi’il yang
menunjukkan pada arti dzan (sangkaan) atau yang menyerupainya. Apabila
jatuh setelah fi’il yang menunjukkan pada makna dzan atau yang
menyerupainya, maka fi’il mudlari’ setelahnya boleh dibaca rafa’ (karena
merupakan bentuk peringanan dari (اَنَّ) yang isimnya berupa dlamir sya’an)
dan boleh dibaca nashab, seperti (ظَنَنْتُ اَنْ يَقُومُ) dengan penakdiran (ظَنَنْتُ اَنَّهُ
يَقُومُ), atau dibaca (ظَنَنْتُ اَنْ يَقُومَ).
Perlu
diketahui, bahwa (اَنْ)
yang menashabkan fi’il mudlari’, tidaklah digunakan kecuali dalam maqam raja’
dan pengharapan bisa terjadinya sesuatu setelahnya, sehingga diperbolehkan jika
(اَنْ) jatuh setelah
dzan atau yang menyerupainya, dan jatuh setelah lafal yang tidak
menunjukkan pada makna yakin.[4]
Dan dilarang jika jatuhnya (اَنْ)
setelah fi’il-fi’il yang menunjukkan pada makna yakin, karena fi’il-fi’il
tersebut berhubungan dengan sesuatu yang pasti terjadinya, sehingga tidaklah
mencocokinya apa yang menunjukkan pada sesuatu yang tidak pasti terjadinya, dan
yang lebih mencocokinya adalah taukid. Oleh karenanya, (اَنْ) yang jatuh setelah fi’il-fi’il yang
bermakna yaqin adalah sebagai bentuk peringanan dari (اَنَّ) yang berfaidah taukid.
b. (لَنْ), yaitu huruf nafi, nashab dan istiqbal.
Huruf
tersebut berfaidah untuk menguatkan nafi bukan melanggengkannya. Menurut
qaul ashah, bahwa (لَنْ)
tersusun dari (لاَ)
nafi dan (اَنْ) masdariyyah
yang bisa me-nashabkan fi’il mudlari’. Hamzah washalnya (اَنْ) dijadikan washal karena untuk
memperingan dan hamzah itu kemudian dibuang secara penulisan karena mengikuti
pembuangannya. Kemudian keduanya menjadi satu kalimah untuk menafikan fi’il
dalam zaman mustaqbal.[5]
c. (اِذَنْ), yaitu huruf jawab, jaza’,
nashab dan istiqbal.
Dinamakan
huruf jawab karena dia jatuh dalam kalam yang menjadi jawab bagi lafal
sebelumnya. Dinamakan huruf jaza’ karena kalam yang dia masuk kepadanya
adalah sebagai jaza’ atau balasan bagi kandungan kalam sebelumnya.
1) Berada diawal kalam, artinya awal
jumlahnya kalam, yaitu dengan sekiranya dia tidak didahului oleh sesuatu yang
masih punya hubungan dengan lafal setelahnya.
Demikian
itu seperti ketika lafal setelahnya berupa khabar bagi lafal sebelumnya,
seperti (اَناَ اِذَنْ اُكَافِئُكَ), atau menjadi jawabnya syarat, seperti (اِنْ تَزُرْنِي
اِذَنْ اَزُرُكَ), atau jawab-nya
qasam, seperti (وَ اللهِ اِذَنْ لاَ اَفْعَلَ). Tetapi jika (اِذَنْ) didahului waw atau fa’, maka
diperbolehkan membaca rafa’ fi’il mudlari’ setelahnya atau membacanya nashab,
dan rafa’ adalah yang biasa dibaca. Contoh yang dibaca nashab (pada selain qira’ah
sab’ah) adalah (وَ اِنْ كَادُوا لَيَسْتِفِزُّونَكَ ... وَ
اِذاً لاَ يَلْبَثُوا خِلاَفَكَ اِلاَّ قَلِيْلاً)
dan (اَمْ لَهُمْ نَصِيْبٌ مِنَ الْمُلْكِ فَإِذاً لاَ يُؤْتُوا
النَّاسَ نَقِيْراً), dan yang
dibaca rafa’ adalah seperti (وَ اِنْ كَادُوا لَيَسْتِفِزُّونَكَ ... وَ
اِذاً لاَ يَلْبَثُونَ خِلاَفَكَ اِلاَّ قَلِيْلاً)
dan (اَمْ لَهُمْ نَصِيْبٌ مِنَ الْمُلْكِ فَإِذاً لاَ يُؤْتُونَ
النَّاسَ نَقِيْراً).
2) Diantara (اِذَنْ) dan fi’il setelahnya tidak dipisah dengan
sesuatu apapun, kecuali qasam, (اِذَنْ وَ اللهِ
اُكْرِمَكَ), dan (لاَ) nafi, seperti (اِذَنْ لاَ
اَجِيْئَكَ). Jika kita
ucapkan (اِذَنْ هُمْ يَقُومُونَ بِالْوَاجِبِ) sebagai jawaban dari orang yang berkata (يَجُودُ
الْأَغْنِيَاء ُبِالْمَالِ فِي سَبِيْلِ الْعِلْمِ),
maka fi’il mudlari’nya kita baca rafa’, karena diantara keduanya ada pemisah
dengan selain pemisah yang diperbolehkan.
3) Fi’il mudlari’ setelah (اِذَنْ) harus murni untuk zaman mustaqbal.
Jika kita ucapkan, (اِذَنْ اُظُنُّكَ صَادِقاً) sebagai jawaban dari (اِنِّي اُحِبُّكَ), maka kita baca rafa’ fi’il mudlari’-nya,
karena fi’il itu untuk zaman haal atau zaman sekarang.
Contoh
lafal yang sudah memenuhi semua syarat di atas adalah (اِذَنْ اَنْتَظِرَكَ) sebagai jawaban dari orang yang bertanya
kepada kita (سَأَزُورُكَ)
“Aku akan mengunjungi kamu.” (اذن) pada lafal itu menjadi permulaan kalam,
fi’il mudlari’ setelahnya murni untuk zaman mustaqbal dan tidak ada pemisah
diantara keduanya.
d. (كَيْ), yaitu huruf masdariyyah, nashab
dan istiqbal.
Huruf
ini seperti (اَنْ)
yang menjadikan lafal setelahnya dita’wil masdar. Jadi, ketika kita
mengucapkan, (جِئْتُ لِكَيْ اَتَعَلَّمَ) maka ta’wilannya adalah (جِئْتُ لِلتَّعَلُّمِ), yang lafal setelah-nya dita’wil dengan
masdar yang dijerkan dengan lam. Biasanya lam jer yang berfaidah ta’lil
mendahului (كَيْ), seperti (لِكَيْلاَ تَأْسَوْا
عَلَى مَا فَاتَكُمْ). Dan jika
tidak didahului lam jer, maka lam tersebut dikira-kirakan, seperti (اِسْتَقِمْ كَيْ تُفْلِحَ), dan masdar hasil ta’wilan
bertempat jer dengan lam yang dikira-kirakan atau dibaca nashab sebagai naza’
khafidz (: pembuangan huruf jer).
[1] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II hlm. 167
[2] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II hlm. 168-173
[3] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II hlm. 168
[4] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II hlm. 169
[5] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II hlm. 169
[6] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II hlm. 170
No comments:
Post a Comment