Diperbolehkan
mentaukidi fi’il amar secara mutlak. Dan fi’il madli tidak boleh ditaukid
secara mutlak. Adapun fi’il mudlari’, maka tidak boleh mentaukidinya kecuali
ketika fi’il tersebut didahului perabot amar (seperti, لَيَقُوْمَنَّ), atau nahi (seperti, لاَ تَقُوْمَنَّ), atau istifham (seperti, هَلْ تَقُوْمَنَّ), atau didahului (اِنْ) syarthiyyah yang diidghamkan ke-(مَا) zaidah (فَاِمَّا تَرَيِنَّ), atau fi’il tersebut menjadi jawabnya qasam,
(تَا اللهِ لَأَكِيْدَنَّ اَصْنَامَكُمْ).[1]
a.
Kewajiban Mentaukidi Fi’il Mudlari’
Diwajibkan
mentaukid fi’il mudlari’ dengan nun taukid ketika fi’il tersebut mutsbat
dan mustaqbal, jatuh menjadi jawabnya qasam yang tidak dipisah
dengan lam jawabnya oleh sesuatu,[2]
seperti (تَاللهِ لأَكِيْدَنَّ اَصْناَمَكُمْ). Mentaukidi fi’il mudlari’ dengan nun dan
memberi lam pada jawab dalam keadaan seperti itu adalah suatu kewajiban
yang tidak boleh berpindah darinya.
b.
Boleh Mentaukidi Fi’il Mudlari’
Fi’il
mudlari’ boleh ditaukid di empat keadaan, yaitu:[3]
1) Fi’il mudlari’ jatuh setelah perabot
thalab, yaitu lam amar, (لاَ) nahi, perabot
istifham, tamanni, tarajji, ‘aradl dan tahdlidl,
seperti (لَأَجْتَهِدَنَّ), (لاَ تَكْسُلَنَّ), (هَلْ تَفْعَلَنَّ الْخَيْرَ), (لَيْتَكَ تَجِدَنَّ), (لَعَلَّكَ تَفُوزَنَّ), (أَلاَ تَزُورَنَّ الْمَدَارِسَ الْوَطَنِيَّةَ) dan (هَلاَّ يَرْعَوِنَّ الْغاَوِي عَنْ غَيِّهِ).
2) Fi’il mudlari’ menjadi syarat yang
jatuh setelah perabot syarat yang dibarengi dengan (ماَ) zaidah.
Jika
perabot yang digunakan adalah (إِنْ), maka mentaukidinya dengan nun adalah
dekat dengan wajib, hingga ada sebagian ulama’ mengatakan wajib, seperti (فَإِماَّ يَنْزَغَنَّكَ
مِنَ الشَّيْطاَنِ نَزغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ).
Dan jika perabot yang digunakan bukan (إِنْ), maka qalil mentaukidinya, (حَيْثُماَ تَكُونَنَّ
آتِكَ مَتَى تُسَافِرَنَّ اُسَافِرْ).
3) Fi’il mudlari’ dinafikan dengan (لاَ) dengan syarat
dia menjadi jawabnya qasam, seperti (وَ اتَّقُوا فِتْنَةً لاَ تُصِيْبَنَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً). Dan qalil
terjadinya jika fi’il mudlari’ dinafikan dengan (لَمْ) lalu
ditaukidi dengan nun, seperti,
يَحْسَبُهُ الْجاَهِلُ ماَ لَمْ يَعْلَماَ * شَيْخاً عَلَى كُرْسِيِّهِ مُعَمَّماَ
4) Fi’il mudlari’ jatuh setelah (ماَ) zaidah
yang tidak didahului perabot syarat, seperti (بِعَيْنٍ ماَ اَرَيَنَّكَ).
c.
Dilarang Mentaukidi Fi’il Mudlari’
Dilarang
mentaukidi fi’il mudlari’ di empat keadaan,
1) Ketika fi’il mudlari’ tidak
didahului perabot yang memperbolehkannya untuk ditaukidi, seperti qasam,
perabot thalab, nafi, jaza’ dan (ماَ) zaidah.
2) Fi’il mudlari’ dinafikan dan jatuh
setelah jawabnya qasam, seperti (وَ اللهِ لاَ اَنْقُضُ عَهْدَ اُمَّتِي). Tidak ada
bedanya jika huruf nafi itu disebutkan, seperti dalam contoh, atau
dikira-kirakan, seperti (تَاللهِ تَفْتَأُ
تَذْكُرُ يُوسُفَ) artinya (لاَ تَفْتَأُ).
3) Fi’il mudlari’ itu untuk zaman haal,
seperti (وَ اللهِ لَتَذْهَبُ الْآنَ).
4) Fi’il mudlari’ dipisah dari lam
jawab qasam, seperti (وَ لَسَوْفَ يُعْطِيْكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى).[4]
[1] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz I hlm. 88
[2] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz I hlm. 89
[3] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz I hlm. 89-91
[4] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz I hlm. 92
No comments:
Post a Comment