Fi’il Naqish adalah fi’il yang masuk pada mubtada’ dan khabar,
sehingga fi’il tersebut merafa’kan mubtada’, karena disamakan dengan fa’ilnya,
dan menashabkan khabar, karena disamakan dengan maf’ul bih,[1]
seperti (كَانَ عُمَرُ عاَدِلاً).
Fi’il tersebut dinamakan dengan fi’il naqish karena kalam yang sempurna
tidak akan menjadi sempurna bila hanya menyebutkan fi’il tersebut bersama ma’mul
marfu’-nya, tetapi haruslah menyebutkan ma’mul manshub-nya supaya
kalam menjadi sempurna, sehingga ma’mul manshub-nya fi’il itu bukanlah fudlah
tetapi ‘umdah, karena dari segi asalnya ma’mul tersebut adalah
khabar yang dibaca nashab karena diserupakan dengan ma’mul fudlah.[2]
Mubtada’ setelah
kemasukan fi’il tersebut dinamakan dengan isimnya fi’il tersebut, dan khabarnya
mubtada’ menjadi khabarnya khabarnya fi’il tersebut.
Fi’il naqish
ada dua macam, yaitu (كَانَ)
dan sesamanya, dan (كاَدَ)
dan sesamanya, yang disebut Af’alul Muqarabah.
a.
(كَانَ) Dan Sesamanya
Lafal yang
menyerupai (كَانَ) dalam pengamalannya
terbagi menjadi dua, yaitu:
1) Lafal yang bisa beramal tanpa harus
ada syarat tertentu, yaitu:
a)
(ظَلَّ) yang maknanya
bersifatnya musnad ilaih dengan musnad dalam waktu siang hari,
seperti (ظَلَّ زَيْدٌ جَالِساً).
b)
(كاَنَ) yang bermakna
bersifatnya musnad ialih dengan musnad dalam waktu yang telah
lalu, seperti (كاَنَ زَيْدٌ
قَائِماً).
c)
(اَضْحَى) yang
bermakna bersifatnya musnad ilaih
dengan musnad dalam waktu dluha, seperti (اَضْحَى زَيْدٌ قَارِئاً).
d)
(بَاتَ) yang bermakna
bersifatnya musnad ilaih dengan musnad dalam waktu malam, seperti
(بَاتَ زَيْدٌ نَائِماً).
e)
(اَصْبَحَ) yang bermakna
bersifatnya musnad ilaih dengan musnad dalam waktu pagi, seperti
(اَصْبَحَ زَيْدٌ
مُصَلِّياً).
f)
(اَمْسَ) yang bermakna
bersifatnya musnad ilaih dengan musnad pada waktu sore, seperti (اَمْسَى زَيْدٌ مُطاَلِعاً لِدُرُوسِهِ).
g)
(لَيْسَ) yang bermakna
menafikan waktu sekarang atau haal, sehingga lafal itu terkhusus dengan
menafikan masa sekarang, seperti (لَيْسَ زَيْدٌ قَائِماً). Kecuali jika
di-qayyidi dengan sesuatu yang bisa memberikan faidah kepada masa yang
telah lewat atau masa yang akan datang, maka lafal itu untuk sesuatu yang dia
di-qayyidi dengannya, seperti (لَيْسَ عَلِيٌّ مُسَافِراً اَمْسِ اَو غَداً).
h)
(صَارَ) yang bermakna
tahawwul atau menjadi, (صَارَ زَيْدٌ غَنِياًّ). Begitu juga
lafal-lafal yang semakna dengannya, yaitu (رَجَعَ), seperti (لاَ تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّاراً),
(عاَدَ), (وَ كاَنَ مُضِلِّي مَنْ هُدِيْتَ بِرُشْدِهِ * فَلِلَّهِ مُغْوٍ عَادَ بِالرُّشْدِ آمِراَ),
(غَدَا) dan (رَاحَ), (لَرَزَقَكُمْ كَماَ يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو حِماَصاً وَ تَرُوحُ
بِطاَناً).
2) Lafal yang bisa beramal dengan ada
syarat tertentu. Pada bagian ini juga terbagi menjadi dua, yaitu:
a) Lafal yang bisa beramal karena
didahului nafi atau yang menyerupainya, (yaitu nahi, dan do’a),
yaitu:[3]
(1)
(زَالَ) yang fi’il mudlari’nya (يَزَالُ) bukan (يَزُولُ) atau (يَزِيْلُ) dan tidak mempunyai masdar, yang bermakna
tetapnya musnad pada musnad ilaih, sehingga ketika kita meng-ucapkan,
(ماَ زَالَ خَلِيْلٌ وَاقِفاً),
maka maknanya adalah Khalil selalu menetapi sifat berdiri pada zaman yang telah
lalu.
(2)
(فَتِيءَ) yang bermakna tetapnya musnad pada
musnad ilaih, seperti (ماَ فَتِيءَ زَيْدٌ ضَاحِكاً).
(3)
(اِنْفَكَّ) yang bermakna tetapnya musnad pada
musnad ilaih, seperti (ماَ اِنْفَكَّ زَيْدٌ مُطاَلِعاً).
(4)
(بَرِحَ) yang bermakna tetapnya musnad pada
musnad ilaih, seperti (ماَ بَرِحَ زَيْدٌ كاَتِناً).
b) Lafal yang bisa beramal karena
didahului (ماَ)
masdariyyah dzarfiyyah, yaitu hanya (دَامَ), seperti (اَعْطِ ماَ دُمْتَ مُصِيْباً دِرْهَماً)
dengan di-ta’wil menjadi (مُدَّةَ دَوَامِكَ مُصِيْباً دِرْهَماً).
Dinamakan (ماَ) masdariyyah
karena bisa menjadikan lafal setelahnya di-ta’wil masdar dan dinamakan dzarfiyyah
karena (ماَ)
tersebut menjadi ganti dari dzaraf, yaitu (مُدَّةَ), karena
penakdirannya (مُدَّةَ دَوَامِكَ
مُصِيْباً دِرْهَماً).
Tambahan:
Terkadang isimnya
(كَانَ) dan sesamanya
disimpan dan khabarnya dibuang ketika wujud qarinah yang menunjuk-kan
kepadanya,[4]
seperti (هَلْ اَصْبَحَ الرَّكْبُ مُسَافِراً ؟) lalu dijawab (اَصْبَحَ) dengan penakdiran (اَصْبَحَ هُوَ
مُسَافِراً).
b.
(كَادَ) Dan Sesamanya atau Af’alul Muqarabah
(كَادَ) dan sesamanya bisa beramal seperti (كَانَ), yaitu merafa’kan mubtada’, yang kemudian
dinamakan isimnya, dan menashabkan khabar, yang dinamakan khabarnya.
Pembagian (كَادَ) dan sesamanya
1)
Af’alul
Muqarabah, yaitu yang menunjukkan pada
dekatnya terjadinya perkara yang dikabarkan, yaitu tiga fi’il (كَادَ), (اَوْشَكَ) dan (كَرَبَ). Kita ucapkan
(كَادَ الْمَطَرُ يَهْطِلُ), (اَوْشَكَ الْوَقْتُ اَنْ
يَنْتَهِيَ) dan (كَرَبَ الصُّبْحُ اَنْ يَنْبَلِجَ).
2)
Af’alul
Raja’, yaitu yang menunjukkan
pengharapan terjadinya perkara yang dikabarkan, yaitu ada tiga fi’il (عَسَى), (حَرَى) dan (اخْلَوْلَقَ).
Seperti, (عَسَى اللهُ اَنْ يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ), (حَرَى الْمَرِيْضُ اَنْ يَشْفَى)
dan (اِخْلَوْلَقَ الْكَسْلاَنُ اَنْ يَجْتَهِدَ).
3)
Af’alul
Syuru’, yaitu yang menunjukkan pada
kesiapan untuk melakukan perbuatan.
Fi’il yang
menunjukkan pada syuru’ sangat banyak, diantaranya (أَنْشَأَ), (عَلِقَ), (طَفِقَ), (أَخَذَ), (هَبَّ), (بَدَأَ), (أِبْتَدَأَ), (جَعَلَ), (قَامَ) dan (اِنْبَرَى). Dan semisalnya adalah fi’il yang
menunjukkan pada permulaan perbuatan dan tidak merasa cukup dengan ma’mul
marfu’-nya. Kita ucapkan (أَنْشَأَ خَلِيْلٌ يَكْتُبُ), (عَلِقُوا يَنْصَرِفُونَ), (أَخَذُوا يَقْرَؤُونَ), (هَبَّ الْقَومُ
يَتَسَابَقُونَ), (بَدَءُوا يَتَباَرَوْنَ), (اِبْتَدَءُوا يَتقَدَّمُونَ), (جَعَلُوا يَسْتَيْقِظُونَ), (قَامُوا يَتَنَبَّهُوْنَ) dan (اِنْبَرَوا يَسْتَرْشِدُونَ).
Kesemua
keterangan yang telah lalu tentang fa’il, na’ibul fa’il dan isimnya (كَانَ), dari hukum dan pembagian-nya, juga
diberikan pada isimnya (كَادَ)
dan sesamanya.
Syarat Khabarnya (كَادَ) dan Sesamanya
Disyaratkan
khabarnya (كَادَ) dan
sesamanya, tiga syarat yaitu,
1) Berupa fi’il mudlari’ yang
diisnadkan kepada dlamir yang kembali kepada isimnya (كَادَ), baik fi’il
mudlari’ itu dibarengi (اَنْ), seperti (اَوْشَكَ النَّهَارُ اَنْ يَنْقَضِيَ),
atau dikosong-kan darinya, seperti (كَادَ اللَّيْلُ يَنْقَضِي).
Diperbolehkan
setelah (عَسَى) saja untuk
diisnadkan kepada isim dzahir yang mengandung dlamir yang kembali kepada
isimnya, (عَسَى الْعاَمِلُ اَنْ يَنْجَحَ عَمَلُهُ). Tidak diperbolehkan pada khabar (كَادَ) dan sesamanya berupa jumlah madliyyah
atau jumlah ismiyyah, seperti halnya tidak diperbolehkan jika khabarnya
berupa isim. Dan apa yang telah datang, maka syadz hukumnya dan tidak
boleh diikuti. Adapun firman-Nya (فَطَفِقَ مَسحاً
بِالسُّوْقِ وَ الْأَعْناَقِ), maka (مَسحاً) tidaklah khabar, namun maf’ul mutlaknya
fi’il yang dibuang dan fi’il itulah yang menjadi khabar, takdirannya (يَمْسَحُ مَسْحاً).
2) Harus diakhirkan dari (كَادَ) dan
sesamanya, dan diperbolehkan adanya khabar yang menjadi penengah antara (كَادَ) atau
sesamanya dengan isimnya, (يَكَادُ يَنْقَضِي
الْوَقْتُ).
Diperbolehkan
membuang khabar jika sudah maklum, seperti (فَطَفِقَ مَسحاً
بِالسُّوْقِ وَ الْأَعْناَقِ) dengan
ditakdirkan (يَمْسَحُ مَسْحاً).
3) Disyaratkan dalam khabarnya (حَرَى) dan (اِخْلَوْلَقَ) untuk
bebarengan dengan (أَنْ).
[1] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 271
[2] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 271
[3] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 273
[4] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 275
[5] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 285-286
tidak ada contohnya...untuk nanti ditambahkan contoh yaaa
ReplyDelete