(عَسَى), (اِخْلَوْلَقَ) dan (اَوْشَكَ) mempunyai kekhususan tersendiri diantara
fi’il-fi’il lainnya dalam bab ini, yaitu ketiganya terkadang bisa diberlakukan taam,
sehingga tidak membutuhkan khabar. Demikian itu terjadi ketika ketiganya
disandingi oleh (اَنْ)
dan fi’il, lalu ketiganya diisnadkan kepada masdarnya yang dita’wil dengan (اَنْ) yang masdar itu menjadi fa’il bagi
ketiganya,[1] (عَسَى اَنْ تَقُوْمَ
وَ اخْلَوْلَقَ اَنْ تُسَافِرُوا وَ اَوْشَكَ اَنْ نَرْحَلَ).
Hukum seperti itu
berlaku ketika ketiganya tidak didahului isim yang merupakan musnad ilaih
dalam makna (seperti yang telah kalian lihat). Namun, jika ketiganya didahului
isim yang sah untuk meng-isnad-kan ketiganya kepada dlamirnya isim itu,
maka kita diperbolehkan untuk memilih. Boleh dijadikan taam (dan itu
adalah yang lebih fasih), sehingga masdar mu’awwal menjadi fa’il
ketiganya, (عَلِيٌّ عَسَى اَنْ يَذْهَبَ),
(هِنْدٌ عَسَى اَنْ تَذْهَبَ),
(الرَّجُلاَنِ عَسَى اَنْ يَذْهَباَ), (الْمَرْأَتاَنِ عَسَى
اَنْ تَذْهَباَ), (الْمُسَافِرُونَ
عَسَى اَنْ يَحْضُرُوا), dan (الْمُسَافِرَاتُ
عَسَى اَنْ يَحْضُرْنَ) dengan
dikosongkannya (عَسَى)
dari dlamir. Atau kita memberlaku-kan ketiganya naqish, sehingga isimnya
berupa dlamir, dan ketika itu maka ketiganya mengandung dlamir mustatir
atau dlamir bariz yang sesuai dengan lafal sebelumnya, dalam hal mufrad,
tatsniyyah atau jama’, mudzakar dan mu’annats, sehingga kita ucapkan (عَلِيٌّ عَسَى اَنْ
يَذْهَبَ), (هِنْدٌ عَسَتْ اَنْ
تَذْهَبَ), (الرَّجُلاَنِ عَسَياَ
اَنْ يَذْهَباَ), (الْمَرْأَتاَنِ
عَسَتاَ اَنْ َذْهَباَ), (الْمُسَافِرُونَ
عَسَوْا اَنْ يَحْضُرُوا), dan (الْمُسَافِرَاتُ
عَسَيْنَ اَنْ يَحْضُرْنَ).
Namun, yang lebih
baik adalah menjadikan ketiganya pada misal diatas sebagai taam dan
dikosongkan dari dlamir, sehingga ketiganya akan tetap pada satu sighat
mufrad mudzakar dan diisnadkan pada masdar mu’awwal dari fi’il dengan (اَنْ) yang masdar itu menjadi fa’ilnya, dan itu
adalah lughat Hijaz yang al-Qur’an telah datang dengannya dan lughat
itu adalah yang lebih fasih dan masyhur, seperti (لاَ يَسْخَرْ قَوْمٌ
مِنْ قَوْمٍ عَسَى اَنْ يَكُوْنُوا خَيْراً مِنْهُمْ وَ لاَ نِسَاءٌ مِنْ نِساءٍ
عَسَى اَنْ يَكُنَّ خَيْراً مِنْهُنَّ), yang jika naqish
maka diucapkan (عَسَوا)
dan (عَسَيْنَ)
dengan dlamir jama’ mudzakar yang kembali kepada (قوم) dan jama’ mu’annats yang kembali kepada (نِسَاء).[2]
1)
Diperbolehkan
untuk mengkasrah dan memfathah siin-nya, ketika diisnadkan kepada ta’ dlamir
atau nun niswah atau (ناَ), namun membaca fathah adalah yang lebih
baik karena yang asal. ‘Ashim telah membaca (فَهَلْ عَسِيْتُمْ اِنْ تَوَلَّيْتُمْ)
dengan dikasrahnya siin, sedangkan ulama’ yang lainnya (عَسَيْتُمْ) dengan
difathah.
2)
(عَسَى) terkadang
diberlakukan sebagai kalimah huruf dengan makna (لَعَلَّ) sehingga bisa
beramal seperti amalnya (لَعَلَّ), yaitu menashabkan isim dan merafa’kan
khabar. Demikian itu ketika (عَسَى) bersambung dengan dlamir nashab (dan itu
adalah qalil), seperti,
فَقُلْتُ عَسَاهاَ
ناَرُ كَــأْسِ وَ عَلَّهاَ * تَشَكَّى فَآتِي نَحْــــوَهاَ فَأَعُودُهـــــــــاَ
فَتَسْمَعُ قَوْلِي
قَبْلَ حَتفٍ يُصِيْبُنِي * تُسَرُّ بِهِ اَو قَبْلَ حَتْفٍ يَصِيْدُهاَ
[1] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 290
[2] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 290
[3] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 291
No comments:
Post a Comment