Diperbolehkan
untuk meringankan (إِنَّ),
(أَنَّ), (كَأَنَّ) dan (لَكِنَّ) dengan membuang nun yang kedua, sehingga
diucapkan (إِنْ), (أَنْ), (كَأَنْ) dan (لَكِنْ).
Jika (إِنَّ) diringankan, maka dia wajib muhmal,
jika yang menyandinginya adalah fi’il, seperti (وَ إِنْ نَظُنُّكَ
لَمِنَ الْكاَذِبِيْنَ). Dan jika yang
menyandinginya adalah isim, maka yang banyak dan biasanya adalah
memuhmalkannya, seperti (إِنْ اَنْتَ لَصَادِقٌ),
dan qalil hukumnya mengamalkannya, seperti (إِنْ زَيْداً
مُنْطَلِقٌ). Ketika (إِنَّ) diringankan dan dimuhmalkan, maka wajib
adanya lam yang difathah, seperti (إِنْ سَعِيْدٌ لَمُجْتَهِدٌ) untuk membedakan antara (إِنَّ) yang diringankan dengan (إِنْ) nafi, supaya tidak terjadi kesamaran. Lam
tersebut dinamakan Lam Fariqah. Ketika diamankan dari keserupaan, maka
diperbolehkan untuk meninggalkan lam,
أَناَ ابْنُ أُباَةِ
الضَّيْمِ مِنْ آلِ ماَلِكٍ * وَ إِنْ ماَلِكٌ كاَنَتْ كِرَامَ
الْمَعاَدِنِ
Karena disini
adalah maqam pujian, sehingga dilarang jika adanya (إِنْ) tersebut untuk nafi. Jika tidak,
maka maqam pujian akan berubah menjadi maqam hinaan. Ketika (إِنَّ) diringankan, maka tidak ada fi’il yang
menyandinginya kecuali fi’il yang bisa merusak hukumnya mubtada’ dan khabar (: fi’il
nasikh), yaitu (كاَنَ)
dan sesamanya, (كاَدَ)
dan sesamanya dan (ظَنَّ)
dan sesamanya. Ketika itu, maka lam fariqah masuk pada juz yang
menjadi khabar. Kebanyakan fi’il nasikh yang menyandinginya adalah
berupa madli, (وَ إِنْ كاَنَتْ لَكَبِيْرَةً إِلاَّ
عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللهُ), namun terkadang
berupa fi’il mudlari’, (وَ إِنْ نَظُنُّكَ لَمِنَ
الْكاَذِبِيْنَ). Masuknya (إِنْ) yang merupakan peringanan pada selain
fi’il nasikh adalah syadz dan langka, sehingga apa yang datang
darinya tidak boleh diqiyaskan, (إِنْ يَزِيْنُكَ
لَنَفْسُكِ وَ إِنْ يُشِيْنُكَ لَهِيَهْ).
Ketika (أَنَّ) diringankan, maka menurut mazhabnya
Sibaweh dan para ulama Kuffah adalah dia muhmal tidak bisa beramal,
tidak pada isim dzahir dan tidak pula pada isim dlamir, sehingga dia
adalah huruf masdariyyah yang hukumnya seperti huruf masdariyyah
lainnya. Sehingga dia bisa masuk pada jumlah ismiyyah dan fi’liyyah.
Pendapat itu adalah yang benar dan tidak ada takalluf didalamnya. Adapun
syair,
فَلَو أَنْكِ فِي
يَومِ الرِّخاَءِ سَأَلْتَنِي * كَلاَقَكِ لَمْ أَبْخَلْ وَ اَنْتِ صَدِيْقُ
Adalah dlarurat
syair yang tidak boleh diqiyaskan.
Perlu diketahui
bahwa (أَنَّ) yang
diringankan, jika di-ahului fi’il, maka fi’il itu harus berupa fi’il yang
menunjukkan makna yakin atau yang menempati tempatnya, yaitu dari semua fi’il
qalbi yang diinginkan dengannya adalah sangkaan yang dimenangkan terjadinya
(dzan rajih), seperti (عَلِمَ أَنْ سَيَكُونُ مِنْكُمْ مَرْضَى) dan (وَ ظَنُّوا أَنْ لاَ
مَلْجَأَ مِنَ اللهِ إِلاَّ اِلَيْهِ).
Ketika (أَنْ) yang disukun jatuh setelah fi’il yang
berfaidah ilmu dan yakin, maka wajib adanya dia merupakan peringanan
dari (أَنَّ), dan fi’il
mudlari’nya dibaca rafa’, seperti yang telah kalian lihat. Dan tidak boleh
adanya (أَنْ) adalah yang
menashabkan fi’il mudlari.
Jika jatuh
setelah fi’il yang menunjukkan pada dzan rajih, maka diperbolehkan
adanya dia adalah peringanan dari (أَنَّ) sehingga fi’il mudlari’ setelahnya dibaca
rafa’, dan boleh juga jika dia adalah yang menashabkan fi’il mudlari’, sehingga
fi’il mudlari’ setelahnya dibaca nashab, seperti (وَ حَسَبُوا أَنْ لاَ
تَكُونَ فِتْنَةً) dengan dibaca
nashab atau rafa’.
(أَن) yang merupakan peringanan tidak boleh
masuk kecuali pada jumlah, menurut orang yang memuhmalkannya dan yang
mengamalkannya dalam dlamir yang tersimpan, kecuali apa yang syadz yaitu
dari masuknya dia pada dlamir bariz dalam syair karena dlarurat. Jumlah
setelahnya adakalanya berupa jumlah ismiyyah atau jumlah fi’liyyah.
Jika berupa jumlah
ismiyyah atau jumlah fi’liyyah yang fi’il berupa fi’il jamid,
maka dia tidak membutuhkan pada pemisah diantara jumlah itu dan (أَنْ). Yang berupa jumlah ismiyyah
seperti (وَ آخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ ِللهِ
رَبِّ الْعاَلَمِيْنَ), dan yang jumlah
fi’liyyah yang fi’ilnya berupa fi’il jamid, (وَ أَنْ لَيْسَ
لِلْإِنْسَانِ إِلاَّ ماَ سَعَى).
Dan jika jumlah
setelahnya berupa jumlah fi’liyyah dan fi’ilnya berupa fi’il mutasharrif,
maka yang lebih baik adalah diantara fi’il dan (أَنْ) dipisah dengan salah satu dari lima
perkara,[3]
1)
(قَدْ), seperti (وَ نَعْلَمَ أَنْ قَدْ صَدَقْتَناَ).
2)
Huruf
tanfis, yaitu siin dan (سَوفَ), (عَلِمَ أَنْ
سَيْكُونُ مِنْكُمْ مَرْضَى),
وَ اعْلَمْ فَعِلْمُ
الْمَرْءِ يَنْفَعُهُ * أَنْ سَوْفَ يَأْتِي كُلُّ ماَ قُدِراَ
3)
Nafi dengan (لَنْ) atau (لَمْ) atau (لاَ), (اَيَحْسَبُ
الْإَنْسَانُ أَنْ لَنْ نَجْمَعَ عِظاَمَهُ),
(اَيَحْسَبُ أَنْ لَمْ يَرَهُ اَحَدٌ) dan (اَفَلاَ يَرَوْنَ
أَنْ لاَ يَرْجِعَ اِلَيْهِمْ قَوْلاً).
4)
Perabot
syarat, seperti (وَ قَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتاَبِ
أَنْ اِذَا سَمِعْتُمْ آياَتِ اللهِ يُكفَرُ بِهاَ وَ يُسْتَهْزَأُ بِهاَ فَلاَ
تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيْثٍ غَيْرِهِ).
5)
(رُبَّ), seperti syair,
تَيَقَّنْتُ أَنْ
رُبَّ امِرِيءٍ خِيْلَ خَائِناً * اَمِيْنٌ وَ خَوَّانٍ يُخاَلُ اَمِيْناً
Guna pendatangan pemisah
itu adalah untuk menjelaskan kalau (أَنْ) tersebut adalah peringanan dari (أَنَّ) bukan (أَنْ) yang bisa menashabkan fi’il mudlari’. Dan
diperbolehkan jika tidak memisahnya diantara fi’il dan (أَنْ) dengan pemisah, jika fi’il itu
menunjukkan pada ilmu yang bersifat yakin, seperti syair,
عَلِمُوا أَنْ
يُؤَمَّلُونَ فَجاَدُوا * قَبْلَ اَنْ يُسْأَلُوا بِأَعْظَمِ سُؤْلِ
Ketika (كَأَنَّ) diringankan, maka yang benar adalah dia
dimuhmalkan tidak ada amal baginya, seperti yang diutarakan oleh para ulama’
Kuffah. Disemua keadaan, diwajibkan adanya lafal setelahnya berupa jumlah. Jika
berupa jumlah ismiyyah, maka dia tidak membutuhkan pemisah antara jumlah
itu dengan (كَأَنْ),
وَ صَدْرٍ مُشْرِقِ
اللَّوْنِ * كَأَنْ ثَدْياَهُ حُقَّانِ
Dan jika berupa jumlah
fi’liyyah, maka diwajibkan untuk membarengkannya dengan salah satu dari dua
huruf dibawah ini,
1) (قَدْ), seperti
syair,
لاَ
يَهُولَنَّكَ اصْطِلاَءُ لَظَى الْحَرْ * بِ فَمَحْذُورُهاَ كَأَنْ قَدْ اَلَماَ
2) (لَمْ), (كَأَنْ لَمْ تَغْنَ بِالْأَمْسِ). Diantara
keduanya diberi pemisah adalah untuk membedakannya dari (أَنْ) masdariyyah
yang kemasukan kaf tasybih.
Ketika (لَكِنَّ) diringankan, maka dia wajib dimuhmalkan,
menurut kesepakatan ulama’, dan dia bisa masuk pada jumlah ismiyyah dan jumlah
fi’liyyah, seperti (جَاءَ خاَلِدٌ لَكِنْ سَعِيْدٌ مُسَافِرٌ) dan (سَافَرَ عَلِيٌّ
لَكِنْ جَاءَ خَلِيْلٌ), kecuali imam
Akhfasy dan Yusuf yang memperbolehkannya beramal.
[1] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 321
[2] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 322
[3] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 325
[4] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 327
[5] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 328
No comments:
Post a Comment