Fi’il
Mudlari’ dibaca jazem ketika didahului oleh salah satu dari ‘amil jawazim.
‘Amil tersebut dibagi menjadi dua, yaitu amil yang menjazemkan fi’il
satu, seperti (لاَ تَيْأَسْ مِنْ رَحْمَةِ اللهِ), dan amil yang menjazemkan dua fi’il,
seperti (مَهْماَ تَفْعَلْ تُسْأَلْ عَنْهُ). Penjazeman fi’il mudlari’ itu adakalanya
bersifat lafdzi, jika fi’il tersebut mu’rab seperti pada contoh di atas,
atau mahalli, seperti berupa fi’il mabni, (لاَ تَشْتَغِلَنَّ
بِغَيْرِ النَّافِعِ).[1]
a. Amil yang Menjazemkan Satu
Fi’il
Amil
yang menjazemkan satu fi’il ada empat huruf, yaitu (لَمْ), (لَماَّ), lam amar dan (لاَ) nahi. (لَمْ) dan (لَماَّ) dinamakan huruf nafi, jazim
dan qalab, karena keduanya menafikan fi’il mudlari, menjazemkan dan
merubah zamannya dari zaman haal atau istiqbal menjadi zaman
madli. Jika kita mengucapkan (لَمْ اَكْتُبْ)
atau (لَماَّ اَكْتُبْ),
maka maknanya sebelumnya kita belum pernah menulis.
1) (لَمْ) untuk nafyil mutlak, sehingga
tidak diwajibkan untuk terus menerusnya nafinya lafal yang kemasukan (لَمْ) sampai zaman haal, tetapi boleh
jika terus sampai zaman haal, seperti (لَمْ يَلِدْ
وَ لَمْ يُولَدْ). Oleh
karenanya, diperbolehkan diucapkan (لَمْ اَفْعَلْ
ثُمَّ فَعَلْتُ).
Adapun
(لَماَّ), maka dia
untuk nafyil mustaghriq atau menghabiskan semua bagian zamannya madli
hingga zaman haal. Oleh karenanya, tidak diperbolehkan diucapkan (لَماَّ اَفْعَلْ
ثُمَّ فَعَلْتُ), karena makna
(لَماَّ اَفْعَلْ)
adalah kita belum pernah melakukannya hingga sekarang, dan perkataan kita (ثُمَّ فَعَلْتُ) menentangnya. Oleh karenanya, (لَماَّ) dinamakan dengan huruf Istighraq.
2) Perkara yang dinafikan dengan (لَمْ) tidak bisa diharapkan terjadinya,
sedangkan yang dinafikan dengan (لَماَّ) bisa diharapkan terjadinya. Sehingga
ketika kita mengucapkan (لَماَّ اُسَافِرْ), maka bepergian kita adalah yang dinanti.
3) Diperbolehkan jatuhnya (لَمْ) setelah perabot syarat, seperti (اِنْ لَمْ تَجْتَهِدْ
تَنْدَمْ), sedangkan (لَماَّ) tidak diperbolehkan jatuh setelah perabot
syarat.
4) Diperbolehkan membuang lafal yang
dijazemkan (لَماَّ), seperti (قَارَبَتِ
الْمَدِيْنَةُ وَ لَماَّ) artinya (وَ لَماَّ
اَدْخُلْهاَ). Dan itu
tidak diperbolehkan dalam lafal yang dijazemkan (لَمْ) kecuali dalam keadaan dlarurat, seperti
syair,
اِحْفَظْ
وَدِيْعَتَكَ الَّتِي اسْتُودَعْتَهاَ
* يَومَ الْأَعَازِبِ اِنْ
وَصَلْتَ وَ اِنْ لَمْ
Lam Amar
digunakan untuk meminta dilakukannya suatu perbuatan, seperti (لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ
سَعَتِهِ). Lam amar
diharakati kasrah, kecuali ketika jatuh setelah waw dan fa’, maka kebanyakan
membacanya sukun, seperti (فَلْيَسْتَجِيْبُوا لِيْ وَ لْيُؤْمِنُوا
بِيْ). Lam amar bisa masuk pada fi’il ghaib,
baik mabni maklum atau mabni majhul, fi’il mukhathab dan fi’il
mutakallim yang keduanya mabni majhul.[3]
(لاَ) Nahi digunakan untuk permintaan
meninggalkan suatu perbuatan, seperti (لاَ تَجْعَلْ
يَدَكَ مَغْلُولَةً اِلَى عُنُقِكَ وَ لاَ تَبْسُطْهُماَ فَتَقْعُدَ
مَلُوماً مَحْسُوراً). (لاَ) nahi bisa masuk pada fi’il ghaib
dan mukhathab, baik mabni maklum atau mabni majhul, dan
juga pada fi’il mutakallim yang mabni majhul.[4]
Dan qalil hukumnya lam amar dan (لاَ) yang masuk pada fi’il mutakallim
mufrad yang mabni maklum, namun jika mutkallim bersama yang
lainnya, maka masuknya kedua huruf tersebut adalah lebih mudah, seperti (وَ لْنَحْمِلْ
خَطَايَاكُمْ).
Perlu
diketahui, bahwa perintah melakukan sesuatu atau meninggalkannya, jika dari
orang yang derajatnya lebih rendah kepada yang lebih tinggi, maka dinamakan Do’a,
sebagai tanda kesopanan, dan lam atau (لاَ) tersebut dinamakan huruf do’a,
seperti (لِيَقْضِ عَلَيْكَ رَبُّكَ) dan (لاَ تُؤَاخِذْناَ
بِماَ فَعَلَ السُّفَهَاءُ مِناَّ). Begitu juga
amar bil sighat dinamakan fi’il do’a, (رَبِّ اغْفِرْ
لِي).[5]
b. Amil yang Menjazemkan Dua
Fi’il
‘Amil jawazim
yang bisa menjazemkan dua fi’il, yang satu menjadi syarat dan yang lainnya
menjadi jawab, ada tiga belas,[6]
1) (اِنْ), yang merupakan dalam bab ini, karena
amil lainnya yang bisa menjazemkan dua fi’il adalah karena amil tersebut
menyimpan maknanya (اِنْ),
seperti (اِنْ تُبْدُوا مَا فِي اَنْفُسِكُمْ اَو
تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللهُ).
2) (اِذْ ماَ), yaitu huruf dengan makna (اِنْ), seperti,
وَ اِنَّكَ اِذْ ماَ تَأْتِ
ماَ اَنْتَ آمِرُ * بِهِ تُلْفِ مَنْ اِيَّاهُ تَأْمُرُ
آتِياَ
Perabot jawazim selain ini adalah
berupa isim yang menyimpan maknanya (اِنْ), lalu isim-isim itu dimabnikan dan
menjazemkan dua fi’il. Dan mengamalkan perabot ini adalah qalil dan yang
paling banyak adalah tidak mengamalkannya dan kedua fi’il setelahnya dibaca
rafa’, bahkan, ada sebagian ulama’ yang mengatakan kalau (اِذْ ماَ) tidak bisa beramal menjazemkan kecuali
dalam dlarurat syair.
Asal
dari (اِذْ ماَ)
adalah (ذَا) dzarfiyyah
yang bertemu dengan (ماَ)
zaidah untuk taukid, kemudian lafal tersebut menanggung maknanya
(اِنْ) sehingga
menjadi huruf seperti (اِنْ),
karena tidak ada makna baginya kecuali menghubungkan jawab dengan syarat,
berbeda dengan perabot jawazim yang lainnya karena perobot-perabot
tersebut mempunyai makna yang lain selain makna penghubung jawab dengan syarat.
3) (مَنْ), isim mubham untuk yang berakal, (مَنْ يَفْعَلْ
سُوءاً يُجْزَ بِهِ).
4) (ماَ), isim mubham untuk selain yang
berakal, seperti (وَ ماَ تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ
اللهُ).
5) (مَهْماَ), isim mubham untuk selain yang
berakal, seperti (وَ قَالُوا مَهْماَ تَأْتِناَ مِنْ
آيَةٍ لتَسْحَرَناَ بِهاَ فَماَ نَحْنُ لَكَ بِمُؤْمِنِيْنَ).
Menurut
qaul shahih bahwa (مَهْماَ)
tersusun dari (مَهْ)
yang merupakan isim fi’il amar untuk mencegah dengan makna (اُكْفُفْ) dan (ماَ) yang menyimpan makna syarat. Kemudian
keduanya dijadikan sebagai satu kalimah untuk syarat dan jaza’,
dan sebagai penunjuknya adalah kebanyakan lafal itu digunakan dalam maqam
pelarangan.
Dan
adakalanya lafal itu tersusun dari (ماَ) syarthiyyah dan (ماَ) zaidah untuk taukid yang
ditambahkan seperti dalam perobot jawazim lainnya kemudian para ulama’
tidak menyukai jika diucapkan (مَا مَا) lalu mereka mengganti alif yang pertama
menjadi ha’ supaya kedua lafal itu berbeda.
6) (مَتَى), yaitu isim zaman yang menyimpan makna
syarat,
مَتَى تَأْتِهِ
تَعْشُو اِلَى ضَوءِ نَارِهِ
* تَجِدْ خَيْرَ نَارٍ عِنْدَهاَ
خَيْرُ مَوقِدِ
7) (اَياَّنَ), yaitu isim zaman yang mengandung makna
syarat,
اَياَّنَ تُؤْمِنْكَ
تَأْمَنْ غَيْرناَ وَ اِذَا * لَمْ تُدْرِكِ الْأَمْنَ مِناَ لَمْ تَزَلْ
حَذِرَا
Asalnya adalah (اَيٌّ آنَ) yang tersusun dari (اَيٌّ) yang menyimpan makna syarat dan (آنَ) dengan makna (حِيْنَ). Kemudian, keduanya setelah disusun
menjadi satu isim digunakan untuk syarat dalam zaman mustaqbal dan
dimabnikan fath.
8) (اَيْنَ), yaitu isim makan yang menyimpan maknanya
syarat, seperti, (اَيْنَ تَنْزِلْ اَنْزِلْ). Kebanyakan lafal itu di-masuki (ماَ) zaidah untuk taukid, (اَيْنَماَ تَكُونُ
يُدْرِكُكُمُ الْمَوتُ).
9) (اَنَّى), yang tidak boleh kemasukan (ماَ), yaitu isim makan yang menyimpan makna
syarat, seperti,
خَلِيْلِي اَنَّى تَأْتِيَانِيَ
تَأْتِياَ * اَخاً غَيْرَ ماَ يُرْضِيْكُماَ لاَ يُحَاوِلُ
10) (حَيْثُماَ), yaitu isim makan yang menyimpan makna
syarat dan tidak bisa menjazemkan kecuali ketika bebarengan dengan (ماَ), menurut qaul yang shahih,
seperti,
حَيْثُماَ تَسْتَقِمْ
يُقَدِّرْ لَكَ اللهُ * نَجَاحاً فِي غَابِرِ الْأَزْمَانِ
11) (كَيْفَماَ), yaitu isim mubham yang menyimpan
makna syarat, baik bebarengan dengan (ماَ), seperti (كَيْفَماَ تَكُنْ
يَكُنْ قَرِيْنُكَ), atau tidak
bebarengan dengan (ماَ),
seperti (كَيْفَ تَجْلِسْ اَجْلِسْ).
12) (اَيٌّ), yaitu isim mubham yang menyimpan
makna syarat.
Lafal
itu merupakan perabot jawazim yang mu’rab dengan ketiga harakat,
karena menetapinya lafal itu untuk diidlafahkan kepada mufrad yang menyebabkan
dia menjauh dari diserupakan kepada kalimah huruf yang menyebabkan kalimah isim
dimabnikan. Contohnya rafa’, (اَيُّ امْرِىءٍ يَخْدِمْ
اُمَّتَهُ تَخْدمْهُ), yang dibaca
nashab (اَياًّ ماَ تَدْعُو
فَلَهُ الْأَسْماَءُ الْحُسْنَى) dan dibaca
jer (بِأَيِّ قَلَمٍ تَكْتُبْ
اَكْتُبْ وَ كِتَابَ اَيٍّ تَقْرَأْ اَقْرَأْ).
(اَيٌّ) harus diidlafahkan pada isim mufrad.
Terkadang mudlaf ilaih dibuang lalu didatangkan tanwin sebagai penggantinya,
seperti (بِأَيِّ قَلَمٍ تَكْتُبْ اَكْتُبْ وَ
كِتَابَ اَيٍّ تَقْرَأْ اَقْرَأْ).
13) (اِذَا), dan terkadang diberi (ماَ) zaidah untuk taukid,
sehingga diucapkan (اِذَا ماَ),
yaitu isim zaman yang menyimpan makna syarat, dan lafal itu tidak
bisa menjazemkan kecuali dalam syair saja, seperti
اِسْتَغْنِ مَا
اَغْناَكَ رَبُّكَ بِالْغِنَى * وَ اِذَا تُصِبْكَ خَصَاصَةٌ فَتَجَمَّلِ
Namun,
terkadang (اِذَا) bisa
menjazemkan dalam kalam natsar tetapi dihukumi qalil, (اِذَا اَخَذْتُماَ
مَضَاجِعَكُماَ تُكَبِّراَ اَرْبَعاً وَ ثَلاَثِيْنَ).
Perbedaan (اِنْ) dan (اِذَا)
Perbedaan
antara (اِنْ) dan (اِذَا) adalah (اِنْ) masuk pada sesuatu yang diragukan
kejadiannya, sedangkan (اِذَا)
masuk pada sesuatu yang pasti nyata kejadiannya. Jadi, ketika diucapkan, (اِنْ جِئْتَ
اَكْرَمْتُكَ), maka kita
ragu kedatangan mukhathab. Tetapi jika kita mengucapkan (اِذَا جِئْتَ
اَكْرَمْتُكَ), maka kita
yakin pada kedatangan mukhathab.[7]
[1] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II hlm. 183
[2] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II hlm. 184
[3] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II hlm. 185
[4] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II hlm. 185
[5] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II hlm. 186
[6] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II hlm. 186-191
[7] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II hlm. 190
No comments:
Post a Comment