Syarat
membutuhkan jawab, begitu juga qasam. Ketika syarat dan qasam
berkumpul dan keduanya tidak didahului oleh perkara yang menuntut pada khabar,
seperti mubtada’ atau lafal yang asalnya adalah mubtada’, maka jawab adalah
untuk yang lebih dahulu dari keduanya dan jawab-nya yang terakhir
dibuang, karena telah menunjuk-kannya jawab yang pertama kepadanya.
Jadi,
ketika kita mengucapkan, (اِنْ قُمْتَ وَ اللهِ اَقُمْ) “jika kamu berdiri, demi Allah, maka
aku akan berdiri,” maka (اَقُمْ)
adalah jawab-nya syarat, sedangkan jawab-nya qasam
dibuang karena telah ditunjukkan oleh jawabnya syarat. Namun, jika kita
ucapkan (وَ اللهِ اِنْ قُمْتَ لَأَقُومَنَّ) maka (أَقُومَنَّ) adalah jawab-nya qasam, dan
jawab-nya syarat dibuang karena telah ditunjuk-kan oleh jawabnya
qasam.[1]
Jika
keduanya didahului oleh sesuatu yang menuntut pada khabar, maka diperbolehkan
menjadikan jawab untuk syarat dan boleh juga menjadikannya untuk qasam.
Jika kita menjadikannya untuk qasam, maka kita ucapkan (زُهَيْرٌ وَ اللهِ
اِنْ يَجْتَهِدْ لَأُكْرِمَنَّهُ),
dan jika kita berikan jawab itu untuk syarat, maka kita ucapkan (زُهَيْرٌ وَ اللهِ
اِنْ يَجْتَهِدْ اُكْرِمْهُ). Namun,
diantara ulama ada yang mewajibkan memberikan jawab kepada syarat.
Dan tidak diragukan kalau memberikan jawab itu kepada syarat adalah
yang lebih rajih, baik syarat mendahului qasam atau
diakhirkan dari qasam.[2]
No comments:
Post a Comment