Berikut
adalah hukum nun taukid dan fi’il yang ditaukidi dengannya:[1]
1) Nun taukid khafifah tidak
boleh jatuh setelah dlamir tatsniyyah, sehingga tidak boleh diucapkan (وَ اللهِ
لَتَذْهَباَنِنْ), atau setelah
nun niswah, sehingga tidak boleh diucapkan (لاَ تَذْهَبْنَنْ).
Dan
setelah waw jama’ dan ya’ mukhathabah, maka nun taukid khafifah
bisa jatuh setelahnya, seperti (لاَ تَذْهَبُنَّ
وَ اذْهُبُنَّ وَ لاَ تَذْهِبِنَّ وَ اذْهَبِنَّ).
2) Ketika nun taukid tsaqilah
jatuh setelah dlamir tatsniyyah, maka alif kita tetapkan dan nun taukid tsaqilah
dikasrah, karena untuk menyerupakan nun itu dengan nun tatsniyyah dalam isim,
seperti (اُكْتُباَنِّ)
dan (لِيَكْتُباَنِّ).
3) Jika fi’il mudlari’nya dirafa’, maka
nun alamat rafa’ juga dibuang supaya tiga nun tidak berulang dalam satu
kalimah, seperti (تَكْتُباَنِّ)
yang asalnya adalah (تَكْتُباَنِنَّ).
4) Ketika nun taukid jatuh setelah waw
jama’ yang didlammah huruf sebelumnya, atau ya’ mukhathabah yang
dikasrah huruf sebelumnya, maka waw jama’ atau ya’ mukhathabah dibuang,
karena khawatir dari berkumpulnya dua huruf mati, dan harakatnya huruf sebelum
waw dan ya’ kita tetapkan seperti keadaannya semula, seperti (اُكْتُبُنَّ), (اكْتُبِنَّ), (لِيَكْتُبُنَّ), (ادْعُنَّ), (ادْعِنَّ), (لِيَدْعُنَّ), (ارْمُنَّ), (ارْمِنَّ), dan (لِيَرْمُنَّ) yang asalnya adalah (اُكْتُبُونَّ), (اكْتُبِيْنَّ), (لِيَكْتُبُونَّ), (اُدْعُونَّ), (اَدْعِينَّ), (لِيَدْعُونَّ), (ارْمُونَّ), (ارْمِيْنَّ), dan (لِيَرْمُونَّ).
Jika
fi’il mudlari’nya marfu’, maka nun alamat rafa’ pertama kali yang
dibuang lalu waw dan ya’ dibuang karena berkumpulnya dua huruf mati setelah
membuang nun, seperti (هَلْ تَذْهَبُنَّ) dan (هَلْ تَذْهَبِنَّ) yang asalnya (تَذْهَبُونَنَّ) dan (تَذْهَبِيْنَنَّ).
5) Jika huruf sebelum waw jama’ dan ya’
mukhathabah yang bertemu dengan nun adalah difathah, maka waw dan ya’
kita tetapkan, seperti, (هَلْ تَخْشَوُنَّ؟), (اِخْشَوُنَّ؟), (هَلْ تَرْضَيِنَّ؟), dan (اِرْضِيِنَّ؟).
Tetapi
waw jama’ di dlammah dan ya’ mukhathabah di kasrah, dan huruf sebelum
keduanya ditetapkan seperti keadaannya semula, yaitu difathah, seperti yang
telah kalian lihat. Perlu diketahui bahwa nun yang ditasydid adalah dua huruf
yang huruf pertama adalah mati. Karena huruf yang ditasydid adalah dua huruf
dalam pelafalan meskipun satu dalam penulisan.
6) Ketika nun taukid masuk pada huruf
akhirnya fi’il yang diisnadkan kepada fa’il dlamir mustatir atau isim dzahir,
maka huruf terakhir fi’il difathah, seperti (هَلْ تَكْتُبَنّ؟), (لِيَكْتُبَنَّ زُهَيْرٌ) dan (اُكْتُبَنَّ). Dan jika berupa fi’il yang mu’tal
akhir dengan alif, maka alif kita ganti ya’, seperti (هَلْ تَسْعَيِنَّ؟) dan (اِسْعَيِنَّ).
7) Ketika kita mentaukidi fi’il amar
yang dimabnikan dengan membuang huruf akhirnya, atau fi’il mudlari’ yang
dijazemkan dengan membuang huruf akhirnya, maka kita kembalikan huruf
terakhirnya (jika huruf tersebut adalah ya’ atau waw) dengan dimabnikan fath.
Sehingga,
diucapkan pada (اُدْعُ),
(لاَ تَدْعُ),
(اِمْشِ) dan (لاَ تَمْشِ), dengan (اُدْعُوَنَّ), (لاَ تَدْعُوَنَّ), (إِمْشِيَنَّ) dan (لاَ تَمْشِيَنَّ). Jika yang dibuang adalah alif, maka alif
itu kita ganti ya’, sehingga diucapkan pada (إِخْشَ) dan (لِيَخْشَ) dengan (إِخْشَيِنَّ) dan (لِيَخْشَيِنَّ).
8) Ketika nun niswah menyandingi
nun taukid tsaqilah, maka diwajibkan untuk memisah keduanya dengan alif
karena tidak menyukai berkumpulnya beberapa nun, seperti (يَكْتُبْناَنِّ) dan (اكْتُبْناَنِّ).
Ketika
itu, maka nun taukid wajib dikasrah, seperti yang telah kalian lihat, karena
untuk menyerupakan dengan nun yang jatuh setelah alif tatsniyyah. Adapun nun
taukid khafifah, maka tidak diperbolehkan jatuh setelah nun niswah,
seperti yang telah dijelaskan didepan.
9) Nun tukid khafifah ketika
disandingi huruf mati, maka nun itu dibuang karena untuk menyelamatkan dari bertemunya
dua huruf mati, seperti (اَكْرِمَ الْكَرِيْمَ) yang asalnya adalah (اَكْرِمَنْ). Dan diperbolehkan untuk menggantinya
dengan alif ketika waqaf, seperti (اُكْتُباَ) yaitu pewaqafan dari (اُكْتُبَنْ).
No comments:
Post a Comment