Ketika
ma’mul-nya sifat musyabbahat berupa isim ma’rifat, maka hak dari ma’mul
itu adalah dibaca rafa’, karena dia menjadi fa’ilnya sifat musyabbahat, seperti
(عَلِيٌّ حَسَنٌ خُلُقُهُ) “Ali adalah orang yang baik akhlaknya.”
Namun, orang Arab ketika memaksud untuk melebih-lebihkan, maka mereka akan
mengalihkan pengisnadan dari fa’ilnya kepada dlamir yang tersimpan didalam
sifat musyabbahat yang kembali kepada lafal sebelum sifat itu, dan
mereka menashabkan lafal yang seharusnya menjadi fa’il karena menyerupakannya
dengan maf’ul bih, sehingga diucapkan (عَلِيٌّ
حَسَنُ خُلُقَهُ)
dengan menashabkan (خُلُقَهُ) karena disamakan dengan maf’ul bih, dan
dia bukanlah maf’ul bih, karena sifat musyabbahat tidaklah muta’addi,
dan bukan pula menjadi tamyiz, karena dia berupa isim ma’rifat dengan
diidlafahkan kepada dlamir, dan tamyiz haruslah berupa isim nakirah.[1]
No comments:
Post a Comment