Isim yang dibaca
rafa’ ada tujuh, yaitu: Fa’il, (جَاءَ زَيْدٌ), Na’ibul Fa’il, seperti (ضُرِبَ زَيْدٌ), Mubtada’, seperti (زَيْدٌ قَائِمٌ), Khabarnya mubtada’, seperti (زَيْدٌ قَائِمٌ), Isimnya (كاَنَ) dan sesamanya, (كَانَ زَيْدٌ قَائِماً), Khabarnya (اِنَّ) dan sesamanya, (اِنَّ زَيْداً قَائِمٌ) dan Lafal yang mengikuti lafal yang
dibaca rafa’, (جَاءَ زَيْدٌ الفَاضِلُ).
Fa’il
Fa’il adalah isim yang diisnadkan kepada yang lainnya yang
jatuh setelah fi’il yang taam dan mabni maklum atau yang
menyerupainya, seperti (فَازَ الْمُجْتَهِدُ) dan (اَلسَّابِقُ فَرَسُهُ
فَائِزٌ).[1]
Lafal (الْمُجْتَهِدُ)
disandarkan kepada fi’il taam yang mabni maklum, yaitu (فَازَ), sedangkan (فَرَسُهُ) disandarkan kepada syibih fi’il taam
yang mabni maklum, yaitu (اَلسَّابِقُ), dan kedua lafal itu adalah sebagai fa’il
bagi lafal yang disandari. Yang dimaksud dengan syibih fi’il adalah isim
fa’il, masdar, isim tafdlil, sifat musyabbahat, mubalaghah isim fa’il dan isim
fi’il.
Kesemuanya
bisa merafa’kan fa’il seperti fi’il yang mabni maklum.[2]
Alasan mengapa fa’il dibaca rafa’ adalah,[3]
a. Untuk membedakan antara fa’il dengan
maf’ul, karena jika tidak ada i’rab, maka maf’ul bisa disangka sebagai fa’il,
seperti (ضَرَبَ زَيْدٌ عُمَرَ).
b. Dikarenakan fa’il itu hukumnya kuat,
karena setiap fi’il membutuhkan fa’il, sedangkan dlammah adalah paling kuatnya
harakat. Hal ini berbeda dengan maf’ul, karena tidak semua fi’il membutuhkan
maf’ul.
c. Untuk menyeimbangkan, karena fa’il
itu lebih sedikit jumlahnya dibandingkan maf’ul, karena setiap fi’il hanya
mempunyai satu fa’il, berbeda dengan maf’ul, terkadang satu fi’il mempunyai
satu maf’ul atau dua atau lebih, sedangkan dlammah itu lebih berat dibandingkan
fathah, maka perkara yang lebih sedikit diberi rafa’ (dlammah) yang berat, dan
yang lebih banyak diberi nashab (fathah) yang lebih ringan, sehingga terjadilah
keseimbangan.
Hukum Fa’il
Fa’il
mempunyai tujuh hukum, yaitu:
a. Wajib dibaca rafa’.
Terkadang
dibaca jer, secara lafdzi, ketika diidlafahkan kepada masdar, seperti, (اِكْرَامُ الْمَرْءِ
اَباَهُ فَرْضٌ عَلَيْهِ), atau kepada
isim masdar, seperti (سَلِّمْ عَلَى الْفَقِيْرِ سَلاَمَكَ
عَلَى الْغَنِي), atau dengan
ba’ atau (مِنْ) atau lam yang
ketiganya adalah zaidah, seperti (مَا جَاءَناَ مِنْ
اَحَدٍ), (وَ كَفَى بِاللهِ
شَهِيْداً) dan (هَيْهَاتَ هَيْهَاتَ
لِماَ تُوعَدُونَ).[4]
b. Wajib berada setelah musnad
(: fi’il atau perkara yang menyerupainya).
Jika
didahului lafal yang merupakan fa’il dalam makna, maka fa’ilnya adalah dlamir mustatir
yang kembali kepadanya, seperti (عَلِيٌّ قَامَ). Namun, para ulama Kuffah memperbolehkan
mendahulukan fa’il atas musnad ilaih, dan ulama Bashrah melarangnya.[5]
Buah perbedaan diantara kedua mazhab itu adalah diperbolehkan untuk diucapkan,
menurut ulama Kuffah (الرِّجَالُ جَاءَ) dengan menjadikan (الرِّجَالُ) sebagai fa’ilnya (جَاءَ) yang didahulukan. Akan tetapi, ulama
Bashrah tidak memperbolehkannya, namun mewajibkan untuk diucapkan (الرِّجَالُ جَاءُوا) dengan menjadikan (الرِّجَالُ) sebagai mubtada’ dan khabarnya adalah
jumlah (جَاءُوا). Dan pendapat
yang benar adalah pendapat ulama Bashrah.
c. Dalam kalam harus ada fa’il.
Jika fa’il
terlihat dalam lafal, maka fa’ilnya adalah lafal itu, dan jika tidak maka
fa’ilnya berupa dlamir yang kembali kepada lafal yang sudah disebutkan, seperti
(المُجْتَهِدُ يَنْجَحُ),
atau pada apa yang telah ditunjukkan oleh fi’il, seperti (لاَ يَزْنِي الزَّانِي
حِيْنَ يَزْنِي وَ هُوَ مُؤْمِنٌ وَ لاَ يَشْرَبُ الْخَمْرَةَ حِيْنَ يَشْرَبُهاَ
وَ هُوَ مُؤْمِنٌ), atau kepada
apa yang telah ditunjukkan oleh kalam, seperti jawaban kita atas pertanyaan (هَلْ جَاءَ سَلِيْمٌ) dengan kita ucapkan (نَعَمْ جَاءَ), atau pada apa yang telah ditunjukkan
oleh maqam, seperti (كَلاَّ اِذَا بَلَغَتِ التَّرَاقِيَ), atau pada apa yang telah ditunjukkan
oleh keadaan yang telah dilihat, seperti (اِنْ كَانَ غَداً
فَائْتِنِي).[6]
d. Boleh fa’il disebut dalam kalam
sedangkan fi’ilnya dibuang karena ada qarinah yang menunjukkan kepada
fi’il, seperti untuk menjawab nafi, misalnya (بَلَى سَعِيْدٌ) untuk menjawab, (ماَ جَاءَ اَحَدٌ), atau istifham, seperti kita
berkata (مَنْ سَافَرَ ؟)
lalu dijawab (سَعِيْدٌ).[7]
e. Fi’ilnya fa’il harus menggunakan satu sighat,
meskipun fa’ilnya berbentuk tatsniyyah atau jama’, seperti (اِجْتَهَدَ التِّلْمِيْذُ), (اِجْتَهَدَ التِّلِمِيْذَانِ) dan (اِجْتَهَدَ التَّلاَمِيْذُ). Namun, ada satu lughat yang dlaif
yang mengatakan kalau fi’il harus sesuai dengan fa’ilnya, sehingga berdasarkan lughat
itu diucapkan (اَكْرَماَنِي صَاحِباَكَ) dan (اَكْرَمُونِي اَصْحاَبُكَ).[8]
f. Asal mulanya adalah fa’il bersambung
dengan fi’il kemudian setelahnya didatangkan maf’ul, namun terkadang kejadian
itu dibalik lalu maf’ul didahulukan dan fa’il diakhirkan, seperti (اَكْرَمَ
الْمُجْتَهِدَ اُسْتاَذُهُ).[9]
g. Ketika fa’ilnya mu’annats, maka
fi’ilnya dimu’annatskan dengan menambahkan ta’ ta’nits diakhirnya fi’il madli
dan dengan menggunakan ta’ mudlara’ah pada awalnya fi’il mudlari’,
seperti (جَائَتْ فَاطِمَةُ وَ تَذْهَبُ خَدِيْجَةُ).[10]
[1] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 233
[2] Tasywiq
al-Khillan, hlm. 126
[3] Syarh
al-Mufasshal, juz III, hlm. 75
[4] Tasywiq
al-Khillan, hlm. 125
[5] Asymuni, juz
II, hlm. 44-46
[6] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 236
[7] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 237
[8] Tasywiq
al-Khillan, hlm. 127
[9] Syarah Ibnu
‘Aqil, hlm. 67
[10] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 239
No comments:
Post a Comment