Isim
Maushul pasti membutuhkan shillah, ‘aid dan mahall dalam
i’rab. Shillah adalah jumlah yang disebut setelah isim maushul untuk
menyempurnakan maknanya,[1]
seperti (جَاءَ الَّذِي اَكْرَمْتُهُ). ‘Aid adalah dlamir yang kembali
kepada isim maushul yang dlamir itu dikandung oleh jumlah yang menjadi shillah-nya
isim maushul.[2]
Jika di-ucapkan (تَعَلَّمْ ماَ تَنْفَعُ بِهِ) maka yang menjadi ‘aid adalah
dlamir ha’ (هـ), karena
dlamir itu kembali kepada (ماَ).
Disyaratkan
untuk dlamir yang kembali kepada isim maushul khas, adalah harus
sesuai atau mencocoki kepada isim maushul itu secara mutlak, baik dalam mufrad,
tatsniyyah, jama’, mudzakar dan mu’annatsnya,[3]
sehingga kita ucapkan (اَكْرِمِ الَّذِيْ كَتَبَ), (اَكْرِمِ الَّتِي
كَتَبَتْ), (اَكْرِمِ اللَّذَيْنِ
كَتَباَ), (اَكْرِمِ اللَّتَيْنِ
كَتَبَتاَ), (اَكْرِمِ الَّذِيْنَ
كَتَبُوا), (اَكْرِمِ اللاَّتِي
كَتَبْنَ), (اَكْرِمِ), dan (اَكْرِمِ).
Adapun
dlamir yang kembali kepada isim maushul musytarak, maka diperbolehkan
dua wajah, yaitu menjaga lafal isim maushul, sehingga dimurfadkan dan dimudzakarkan
dlamirnya untuk semuanya, atau dijaga maknanya, sehingga dlamir itu harus
sesuai dengan isim maushulnya dalam mufrad, tatsniyyah, jama, mudzakar dan
mu’annatsnya.[4]
Diucapkan
(كَرِّمْ مَنْ هَذَّبَكَ)
untuk semuanya, jika kita menjaga lafalnya isim maushul, atau diucapkan (كَرِّمْ مَنْ هَذَّبَكَ), (كَرِّمْ مَنْ
هَذَّبَاكَ), (كَرِّمْ مَنْ
هَذَّبُوكَ), (كَرِّمْ مَنْ
هَذَّبَتاَكَ) dan (كَرِّمْ مَنْ
هَذَّبْنَكَ), jika kita
menjaga maknanya isim maushul.
Jika
ada dua dlamir yang kembali kepada isim maushul musytarak, maka
diperbolehkan pada dlamir yang pertama untuk menjaga lafalnya dan dlamir yang
satunya untuk melihat pada maknanya, dan itu adalah yang banyak berlakunya,[5]
seperti (وَ مِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَناَّ بِاللهِ وَ
بِالْيَومِ الْآخِرِ وَ ماَ هُمْ بِمُؤْمِنِيْنَ),
dlamir pada (يَقُولُ)
kembali kepada (مَنْ)
yang mufrad kemudian dlamir yang kembali kepadanya pada (وَ ماَ هُمْ
بِمُؤْمِنِيْنَ) berupa jama’.
Adapun
mahall isim maushul dalam i’rab adalah sesuai dengan tempatnya
isim maushul itu didalam kalam. Suatu saat dia bermahal rafa’, seperti (قَدْ اَفْلَحَ مَنْ
تَزَكَّى), atau nashab,
seperti (اَحْبِبْ مَنْ يُحِبُّ الْخَيْرَ), atau jer, seperti (جُدْ بِماَ تَجِدُ).[6]
Shillah-nya isim maushul harus berupa jumlah khabariyyah
yang mengandung dlamir bariz atau mustatir yang kembali kepada isim maushul.
Dlamir itu dinamakan ‘aid karena kembalinya dlamir itu kepada isim
maushul.[7]
Contoh yang dlamir bariz adalah (لاَ تُعاَشِرِ
الَّذِيْنَ يُحَسِّنُونَ لَكَ الْمُنْكَرَ)
dan contoh yang dlamir mustatir adalah (صَاحِبْ مَنْ
يَدُلُّكَ عَلَى الْخَيْرِ).
a. Shillah-nya isim maushul harus jatuh setelah isim maushul,
sehingga tidak diperbolehkan untuk mendahulukannya. Begitu juga tidak
diperbolehkan mendahulukan sesuatu dari shillah atas isim maushul.
Sehingga, tidak boleh diucapkan (الْيَومَ الَّذِيْنَ
اجْتَهَدُوا يُكْرَمُونَ غَداً) tetapi
diucapkan (الَّذِيْنَ اجْتَهَدُوا الْيَومَ).
b. Shillah-nya isim maushul bisa berupa dzaraf atau jer-majrur,
seperti (اَكْرِمْ مَنْ عِنْدَهُ اَدَبٌ وَ اَحْسِنْ اِلَى
مَنْ فِي دَارِ الْعَجزَةِ), karena
keduanya menyerupai jumlah, sehingga penakdirannya adalah (مَنِ اسْتَقَرَّ اَو
وُجِدَ عِنْدَهُ اَدَبٌ وَ مَنِ اسْتَقَرَّ اَو وُجِدَ فِي دَارِ الْعَجزَةِ). Yang menjadi shillah sebenarnya adalah
jumlah yang dibuang, sedangkan dzaraf dan huruf jer adalah yang ber-ta’alluq
dengan keduanya.
c. Diperbolehkan untuk membuang dlamir
yang kembali kepada isim maushul, jika dalam pembuangan itu tidak menjadikan
kesamaran, (ذَرْنِي وَ مَنْ خَلَقْتُ وَحِيْداً) artinya (خَلَقْتُهُ).
[1] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 136
[2] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 136
[3] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 137
[4] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 137
[5] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 137
[6] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 137
[7] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 138
[8] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 138
No comments:
Post a Comment