(اَنْ) telah dikhususkan diantara sesamanya
bahwa dia bisa menashabkan ketika terlihat, seperti (يُرِيْدُ اللهُ اَنْ
يُخَفِّفَ عَنْكُمْ), atau
dikira-kirakan, seperti (يُرِيْدُ اللهُ لِيُبَيِّنَ لَكُمْ). Tersimpannya (اَنْ) ada dua macam, yaitu jaiz dan wajib.
a. Jawaz Menyimpan (اَنْ)
1) Lam (كَيْ), yang dinamakan dengan lam ta’lil,
yaitu lam yang bisa mengejerkan yang lafal setelahnya menjadi illat bagi
lafal sebelumnya. Sehingga, lafal sebelumnya adalah yang menjadi maksud
dihasilkannya lafal setelahnya, seperti (وَ اَنْزَلْناَ
اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلناَّسِ),
jadi maksud diturunkannya al-Qur’an adalah untuk menjelaskan.
Diperbolehkan
menyimpan (اَنْ) setelah huruf
tersebut ketika (اَنْ)
tidak bersamaan dengan (لاَ)
nafi atau zaidah. Jika bebarengan dengan salah satu darinya, maka
wajib untuk memperlihatkan (اَنْ),
seperti yang nafi (لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى
اللهِ حُجَّةٌ) dan yang zaidah
(لِئَلاَّ يَعْلَمَ اَهْلُ الْكِتاَبِ).
2) Lam ‘Aqibah, yaitu lam yang bisa mengejerkan yang
lafal setelahnya menjadi akibat bagi lafal sebelumnya dan sebagai hasil
baginya, tidak sebagai illat dalam terjadinya dan sebagai sebab dalam
melakukannya, seperti yang ada dalam lam (كَيْ). Lam tersebut dinamakan Lam Shairurah
atau Lam Maali atau Lam Natijah, seperti (فَالْتَقَطَهُ آلُ
فِرْعَونَ لِيَكُونَ لَهُمْ عَدُواًّ وَ حزناً).
3), 4), 5) dan 6) Waw, Fa’, (ثُمَّ) dan (اَو) yang kesemuanya adalah huruf ‘athaf.
Fi’il
mudlari’ yang jatuh setelah huruf-huruf tersebut dibaca nashab dengan (اَنْ) yang disimpan, ketika harus meng-‘athafkan
fi’il tersebut kepada isim mahdli, artinya isim jamid yang tidak musytaq,
dan isim tersebut tidak dalam penta’wilam fi’il, seperti masdar dan isim-isim
jamid lainnya, karena fi’il tidak boleh di’athafkan kecuali kepada fi’il atau
kepada isim yang bermakna fi’il atau yang berta’wil fi’il, seperti isim fi’il
dan isim sifat.
Ketika
fi’il jatuh dalam tempat yang menuntut peng-‘athafannya kepada isim mahdli,
maka (اَنْ)
dikira-kirakan diantara fi’il tersebut dan huruf ‘athaf, dan masdar yang
dita’wil dengannya adalah yang di’athafkan kepada isim sebelumnya. Contoh yang
waw adalah (يَأْبَى الشُّجَاعُ الْفِرَارَ وَ يَسْلَمَ) artinya adalah (وَ اَنْ يَسْلَمَ) dan ta’wilannya (يَأْبَى الْفِرَارَ
وَ السَّلاَمَةَ). Contoh yang
fa’ adalah (تَعَبُكَ فَتَناَلَ الْمَجْدَ خَيْرٌ مِنْ رَاحَتِكَ
فَتُحْرِمَ الْقَصْدَ) yang artinya
adalah (خَيْرٌ مِنْ رَاحَتِكَ فَحِرْمَانِكَ الْقَصْدَ). Contoh yang (ثُمَّ) adalah (يَرْضَى الْجُبَّانُ بِالْهَوَانِ
ثُمَّ يَسْلَمَ) yang artinya
adalah (يَرْضَى بِالْهَوَانِ ثُمَّ السَّلاَمَةِ). Dan contohnya (اَو) adalah (اَلْمَوتُ اَو يَبْلُغَ
الْإِنْسَانُ مَأْمَلَهُ اَفْضَلُ) yang artinya
adalah (اَلْمَوتُ اَو بُلُوغُهُ الْأَمَلَ اَفْضَلُ).
b. Wajib Menyimpan (اَنْ).
1) Lam Juhud atau Lam Nafi, yaitu huruf jer yang jatuh setelah
(مَا كَانَ)
atau (لَمْ يَكُنِ)
yang kedua fi’il tersebut adalah naqish, seperti (مَا كَانَ اللهُ لِيَظْلِمَهُمْ) dan (لَمْ يَكُنِ اللهُ لِيَغْفِرَ
لَهُمْ), yang penakdirannya adalah, (مَا كَانَ اللهُ
مُرِيْداً لِظُلْمِهِمْ) dan (لَمْ يَكُنِ اللهُ
مُرِيْداً لِتَعْذِيْبِهِمْ).
Jika
kedua fi’il tersebut adalah taam, maka diperbolehkan untuk
memperlihatkan (اَنْ)
setelahnya, karena ketika itu lam tersebut adalah lam ta’lil, seperti (ماَ كَانَ
الْإِنْسَانُ لِيَعْصِيَهُ اَو لِأَنْ يَعْصِيَهُ) artinya (ماَ وُجِدَ لِيَعْصِيَهُ).
2) Fa’ Sababiyyah, yaitu fa’
yang berfaidah bahwa lafal sebelumnya sebagai sebab bagi lafal
setelahnya dan lafal setelahnya menjadi musabbab bagi lafal sebelumnya,
seperti (كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْناَكُمْ وَ لاَ
تَطْغَوْا فِيْهِ فَيَحِلَّ عَلَيْكُمْ غَضَبِيْ).
Namun,
jika fa’ tersebut bukan fa’ sababiyyah tetapi fa’ untuk meng’athafkan
kepada fi’il sebelumnya, atau fa’ itu untuk isti’naf (permulaan), maka
fi’il setelahnya tidak boleh dibaca nashab dengan (اَنْ) yang dikira-kirakan, tetapi dii’rabi
dengan i’rabnya lafal yang di’athafi (ketika fa’ tersebut adalah huruf ‘athaf),
seperti (لاَ يُؤْذَنُ لَهُمْ فَيَعْتَذِرُونَ), atau dibaca rafa’ (ketika fa’ tersebut
untuk isti’naf), (اِنَّماَ اَمْرُهُ اِذَا اَرَادَ شَيْئاً
اَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ).
3) Waw Ma’iyyah, yaitu waw yang
berfaidah terjadinya lafal sebelumnya bersama lafal setelahnya, sehingga waw
tersebut bermakna (مَعَ)
dan berfaidah mushahabah, seperti,
لاَ تَنْهَ عَنْ
خُلُقٍ وَ تَأْتِيَ مِثْلَهُ
* عَارٌ عَلَيْكَ اِذَا فَعَلْتَ
عَظِيْمُ
Tambahan:
(اَنْ) tidaklah bisa dikira-kirakan setelah waw
dan fa’ kecuali ketika keduanya jatuh dalam jawabnya nafi atau thalab.
Contoh fa’ yang bersama nafi adalah (لَمْ تَرْحَمْ فَتُرْحَمَ) dan yang bersama thalab adalah (هَلْ تَرْحَمُونَ فَتُرْحَمُوا
؟). Dan contoh waw bersama nafi adalah (لاَ نَأْمُرُ
بِالْخَيْرِ وَ نُعْرِضَ عَنْهُ) dan yang
bersama thalab adalah (لاَ تَأْمُرُوا بِالْخَيْرِ وَ تُعْرِضُوا
عَنْهُ). Jika keduanya tidak didahului nafi
atau thalab, maka fi’il mudlari’ setelahnya dibaca rafa’ dan (اَنْ) tidak dikira-kirakan, (يُكْرِمُ
الْأُسْتاَذُ الْمُجْتَهِدَ فَيَخْجَلُ الْكَسْلاَنُ)
dan (اَلشَّمْسُ طَالِعَةٌ وَ يَنْزِلُ الْمَطَرُ).[3]
4)
(حَتَّى), yaitu yang bisa mengejerkan dengan
bermakna (اِلَى) atau lam ta’lil.
|
Yang
pertama seperti (قَالُوا لَنْ نبرحَ عَلَيْهِ عَاكِفِيْنَ
حَتَّى يَرْجِعَ اِلَيْناَ مُوْسَى)
dan yang kedua seperti (اَطِعِ اللهَ حَتَّى تَفُوزَ
بِرِضَاهُ). Fi’il
setelah (حَتَّى) dita’wil
dengan masdar yang dijerkan dengannya. Disyarat-kan dalam dinashabkannya fi’il
setelahnya dengan (اَنْ)
yang dikira-kirakan adalah adanya fi’il itu untuk zaman mustaqbal,
adakalanya dengan dinisbatkan kepada kalam untuk pembicaraan atau dengan
dinisbatkan kepada lafal sebelumnya.
Kemudian
jika ke-mustaqbal-an fi’il tersebut dinisbatkan kepada zamannya
percakapan dan kepada lafal sebelumnya, maka wajib membaca nashab fi’il, karena
fi’il tersebut adalah mustaqbal secara hakiki, seperti (صُمْ حَتَّى تَغِيْبَ
الشَّمْسُ) “puasalah
hingga tenggelamnya matahari,” karena tenggelamnya matahari adalah mustaqbal
zamannya bila dinisbatkan kepada kalamnya mutakallim, dan juga mustaqbal
dengan dinisbatkan kepada puasa.
Dan
jika ke-mustaqbalan-nya dinisbatkan kepada lafal sebelumnya saja, maka
diperbolehkan membaca nashab fi’il dan boleh merafa’kannya, seperti (وَ زُلْزِلُوا حَتَّى
يَقُولَ الرَّسُولُ) dengan dibaca
nashab dengan (اَنْ)
yang dikira-kirakan dengan melihat ke-mustaqbal-an fi’il bila
dinisbatkan kepada lafal sebelumnya, karena menggoyang mereka adalah lebih
dahulu dari perkataan Rasul, atau dengan membacanya rafa’ dengan tidak
menakdirkan (اَنْ)
dengan melihat kalau fi’il tersebut tidaklah mustaqbal secara hakiki,
karena perkataan Rasulullah terjadi sebelum menceritakan perkataan dia,
sehingga perkataan itu adalah madli zamannya sampai waktunya
pembicaraan.
Dan
jika yang diinginkan dengan fi’il tersebut adalah zaman haal, maka (اَنْ) tidak boleh dikira-kirakan, akan tetapi
fi’il harus dibaca rafa’, karena (حَتَّى) dibuat untuk zaman mustaqbal,
seperti (ناَمُوا حَتَّى ماَ يَسْتَيْقِظُونَ). Tanda adanya fi’il untuk zaman haal
adalah bila tempatnya fa’ sah me-nempati tempatnya (حَتَّى), sehingga juga sah bila diucapkan (ناَمُوا فَلاَ يَسْتَيْقِظُونَ).
5) (اَو)
Dan
tidaklah (اَو)
dikira-kirakan setelahnya kecuali jika tempatnya (اَو) pantas ditempati (اِلَى) atau (اِلاَّ) istisna’. Yang pertama seperti
syair,
لأَسْتَسْهِلَنَّ
الصَّعْبَ اَو اَدْرِكَ الْمُنَى
* فَماَ انْقَادَتِ الْآمَالُ
اِلاَّ لِصَابِرِ
Dengan
penakdiran, (اِلَى اَنْ اَدْرِكَ الْمُنَى). Dan yang kedua,
وَ كُنْتُ اِذَا غَمَزْتُ قَناَةَ
قَومٍ *
كَسَرْتُ كُعُوبَهاَ اَو تَسْتَقِيْماَ
Dengan
ditakdirkan, (اِلاَّ).
Fi’il
yang dibaca nashab setelah (اَو),
di’athafkan kepada masdar yang dipaham dari fi’il yang lebih dahulu, sehingga
penakdiran syair pertama adalah (لَيَكُونَنَّ مِنِّي
اسْتِسْهَالٌ لِلصَّعْبِ اَو اِدْرَاكٌ لِلْمُنَى)
dan pada syair kedua (لِيَكُونَنَّ مِنِّي كِسْرٌ لِكُعُوبِهاَ
اَوِ اسْتِقَامَةٌ مِنْهاَ).
Perlu
diketahui, bahwa penta’wilan (اَو)
dengan (اِلَى) atau (اِلاَّ) adalah penakdiran dengan memandang pada
maknanya bukan i’rab. Adapun penakdiran yang bersifat i’rab adalah dengan
memandang tarkibnya, sehingga fi’il sebelum (اَو) dita’wil dengan masdar yang di’athafkan
kepadanya masdar yang telah dilebur setelahnya dengan (اَو) yang dikira-kirakan.
[1] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II hlm. 173-176
[2] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II hlm. 176-182
[3] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II hlm. 178
No comments:
Post a Comment