Dalam
fi’il syarat diwajibkan harus berupa fi’il khabari, mutasharrif
dan tidak bebarengan dengan (قَدْ)
atau (لَنْ) atau (ماَ) nafi atau siin (س) atau (سَوفَ). Jika ada kalimah isim jatuh setelah
perabot syarat, maka disitu terdapat fi’il yang dikira-kirakan, seperti
(وَ اِنْ اَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ), (اَحَدٌ) adalah failnya fi’il yang dibuang yang
fi’il itu menjadi fi’il syarat dan jumlah (اسْتَجَارَكَ) yang telah disebutkan menjadi penjelas
bagi fi’il yang dibuang.[1] Yang
dimaksud dengan Fi’il Khabari adalah fi’il yang tidak berupa perintah,
larangan dan tidak didahului dengan perabot thalab, seperti istifham,
‘aradl dan takhsish.[2]
Oleh karenanya, fi’il-fi’il tersebut tidak boleh menjadi fi’il syarat.
Syarat
dari fi’il jawab adalah harus seperti fi’il syarat,
artinya jawab harus pantas jika dia menjadi syarat. Namun,
terkadang ada lafal yang menjadi jawab tetapi dia tidak pantas jika
menjadi syarat, maka ketika demikian, wajib memberi fa’ pada jawab
sebagai penghubung kepada syarat karena tidak saling mencocokinya
keduanya dari segi lafalnya, dan jumlah itu sendiri bermahal jazem sebagai
jawabnya syarat. Fa’ tersebut dinamakan Fa’ Jawab, karena berada
dijawabnya syarat atau Fa’ Rabithah karena sebagai penghubung jawab
dengan syarat.[3]
[1] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II hlm. 191
[2] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II hlm. 191
[3] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II hlm. 191
No comments:
Post a Comment