Ketika
fi’il mudlari’ menjadi jawab yang jatuh setelah thalab, maka dia
dibaca jazem, seperti ketika jatuh setelah amar atau nahi atau istifham
atau ‘aradl atau takhdlidl atau tamanni atau tarajji,[1]
misalnya, (تَعَلَّمْ تَفُزْ),
(لاَ تَكْسُلْ تَسُدْ),
(هَلْ تَفْعَلْ خَيْراً تُؤْجَرْ), (اَلاَ تَزُورُناَ
تَكُنْ مَسْرُوراً), (هَلاَ تَجْتَهِدُ
تَنَلْ خَيْراً) dan (لَيْتَنِيَ اجْتَهَدْتُ
اَكُنْ مَسْرُوْراً وّ لَعَلَّكَ تُطِيْعُ اللهَ تَفُزْ
بِالسَّعَادَةِ). Penjazeman
fi’il yang jatuh setelah thalab adalah dengan (إِنْ) yang tersimpan bersama fi’il syarat,
sehingga penakdiran dari perkataan kita (جُدْ تَسُدْ) adalah (جُدْ فَإِنْ تَجُدْ
تَسُدْ), (هَلْ تَفْعَلْ
خَيْراً؟ تُؤْجَرْ) ditakdirkan (هَلْ تَفْعَلْ
خَيْراً؟ فَإِنْ تَفْعَلْ خَيْراً تُؤْجَرْ).
Perlu
diketahui, bahwa thalab tersebut tidak disyaratkan harus dengan sighat
amar atau nahi atau istifham atau sighat thalab
lainnya, akan tetapi fi’il yang jatuh setelah kalam khabari juga bisa
dijazemkan, jika kalam itu adalah thalab dalam maknanya,[2]
seperti (تُطِيْعُ اَبَوَيْكَ تَلْقَ
خَيْراً) “patuhlah pada orang tuamu, maka kamu
akan mendapatkan kebaikan.”
No comments:
Post a Comment