Isim ma’rifat
yang kelima adalah isim nakirah yang kemasukan (ال) yang bisa berfaidah mema’rifatkan isim
tersebut, seperti (الرَّجُلُ).
(ال) semuanya
adalah huruf ta’rif, bukan lam saja, menurut qaul ashah,
dan hamzahnya adalah hamzah qatha’ yang diwashalkan, karena sudah
banyaknya penggunaan, menurut qaul arjah.[1] (ال) tersebut adakalanya untuk mema’rifatkan jinis
atau yang disebut dengan (ال)
Jinsiyyah, atau untuk mema’rifatkan bagian yang sudah diketahui dari
jinis itu atau dinamakan dengan (ال) ‘Ahdiyyah.
1) (ال) ‘Ahdiyyah
Adakalanya untuk ‘ahdi
dzikri, yaitu lafal yang kemasukan (ال) yang sudah disebutkan sebelumnya, seperti
(جَاءَنِي ضَيْفٌ فَأَجْرَمْتُ الضَّيْفَ), “telah datang kepadaku seorang tamu,
lalu aku memuliakan tamu itu.” Artinya (الضَّيْفُ) yang sudah disebutkan didepan.
Adakalanya untuk ‘ahdi
al-hudluri, yaitu lafal yang diberi (ال) adalah perkara yang hadir, seperti (جِئْتُ اَلْيَوْمَ), “aku datang pada hari ini.”
Artinya, hari dimana kita sekarang ini berada.
Dan adakalanya
untuk ‘ahdi al-dzihni, yaitu lafal yang kemasukan (ال) sudah diketahui didalam hati, sehingga
pemikiran akan tertuju kepadanya dengan murninya pengucapan, seperti (حَضَرَ الرَّجُلُ) “telah datang seorang lelaki” yang
antara kita dan orang yang kita ajak bicara sudah ada pengetahuan tentang
lelaki yang sedang kita bicarakan itu.
2) (ال) Jinsiyyah
Adakalanya untuk
menghabiskan atau istighraq dan adakalanya untuk menjelaskan hakikat.
(ال) jinsiyyah
yang untuk istighraq adakalanya untuk menghabiskan seluruh dari
personilnya jinis, yaitu lafal yang bisa memuat seluruh
komponen-komponennya jinis,[2]
seperti (وَ خُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيْفاً), “manusia diciptakan lemah”,
artinya, semua individu dari manusia. Adakalanya untuk menghabiskan seluruh kekhususannya
jinis,[3]
seperti (اَنْتَ الرَّجُلُ),
“kamu adalah lelaki sempurna” artinya telah terkumpul kepadamu semua
sifatnya para lelaki. Alamat dari (ال) yang berfaidah istighraq adalah
pantas jika tempatnya (ال)
itu ditempati oleh lafal (كُلٌّ),
seperti yang telah kita lihat.
(ال) jinsiyyah yang untuk menjelaskan hakikat
adalah (ال) yang untuk
menjelaskan hakikat dari suatu jinis dengan tanpa memandang pada
masing-masing dari jinis itu yang sesuai dengannya.[4]
Oleh karenanya, tidak sah jika lafal (كُلٌّ) ditempatkan pada tempatnya (ال) tersebut, seperti (اَلرَّجُلُ اَصْبَرُ
مِنَ الْمَرْأَةِ), “lelaki
lebih bersabar dibandingkan perempuan”, artinya hakikatnya lelaki lebih
bersabar dibandingkan perempuan, meskipun tidak semua lelaki seperti itu, namun
terkadang adapula perempuan yang mempunyai kesabaran melebihi kesabarannya
lelaki. Sehingga (ال)
pada lafal tersebut adalah untuk mema’rifatkan hakikat yang tidak dipandang
dengannya pada keseluruhan individu-individunya jinis tetapi pada
hakikatnya jinis.
3) (ال) Zaidah
Terkadang (ال) ditambahkan sehingga tidak berfaidah ta’rif.
Keziadahan (ال) adakalanya
tetap (lazim), sehingga lafal yang menyertainya tidak boleh dipisah
darinya, seperti keziadahan (ال)
dalam alam yang telah menyertai dari asal pembentukan, seperti (اَللَّاتَ), (الْعُزَّى), (السَّمَوْأَلِ) dan (الْيَسَعُ).
Dan seperti
keziadahannya dalam isim maushul, seperti (الَّذِي), (الَّتِيْ) dan semisalnya, karena kema’rifatan isim
maushul adalah dengan shillah tidak dengan (ال), menurut qaul ashah.
Dan adakalanya
keziyadahan (ال)
adalah tidak tetap, seperti (ال)
ditambahkan pada sebagian alam yang di-nuqil dari lafal asal untuk
melihat pada makna yang dikandung oleh lafal asal yang di-nuqil,[5]
yaitu seperti (الْفَضْلُ)
dan (الحَارِثُ).
Dan diperbolehkan untuk membuang (ال) dari ‘alam itu.
Keziadahan (ال) adalah sama’i, sehingga tidak
boleh diucapkan (المُحَمَّدُ)
atau (المَحْمُودُ).
Apa yang telah datang dari orang Arab mengenai penambahan itu, maka tidak boleh
diqiyaskan pada yang lainnya. Adakalanya penambahan (ال) adalah dlarurat, seperti masuknya
(ال) pada ‘alam
yang belum pernah didengar masuknya (ال) itu pada alam tersebut pada saat selain dlarurat,[6]
seperti syair,
رَأَيْتُ الْوَلِيْدَ بْنَ الْيَزِيْدِ
مُبَارَكاً * شَدِيْداً بِأَعْباَءِ الْخِلاَفَةِ كاَهِلُهُ
Sehingga (ال) dimasukkan pada (يزيد) karena dlarurat syair, dan itu
adalah keadaan dlarurat yang buruk.
4) (ال) Maushulah
Terkadang (ال) menjadi isim maushul dengan satu lafal
untuk mufrad, tatsniyyah, jama’, mudzakar dan mu’annats. (ال) itu masuk dalam isim fa’il dan isim
maf’ul dengan syarat (ال)
itu tidak diinginkan untuk ‘ahdu atau jinsu,[7]
seperti (اَكْرِمِ الْمُكْرِمَ ضَيْفَهُ). Jika yang diinginkan adalah untuk ‘ahdu,
seperti (اُنْصُرِ الْمَظْلُومَ)
“tolonglah orang yang di-dzlimi itu.” Maka (ال) adalah huruf ta’rif bukan isim
maushul.
Jika (ال) adalah isim maushul, maka shillah-nya
adalah berupa sifat yang ada setelah (ال), karena sifat itu mempunyai kekuatan
seperti jumlah, sehingga sifat itu menyerupai jumlah karena menunjukkannya
sifat itu pada zaman dan bisa merafa’kan fa’il atau na’ibul fa’ul, baik secara
terlihat atau tersimpan,[8]
seperti (اَكْرِمِ الْمُكْرِمَ اَبُوهُ ضَيْفَهُ) dan (اَكْرِمِ الْمُكْرِمَ
ضَيْفَهُ).
Adapun i’rab,
maka terjadi pada (ال),
sehingga (ال) itu ber-mahall
rafa’, nashab atau jer, dan i’rab itu terlihat pada shillah-nya. Adapun shillah-nya
(ال) maka tidak
ada i’rab baginya. Sedangkan rafa’, nashab atau jer yang terlihat padanya
adalah pengaruh dari mahall-nya (ال) dalam i’rab.
Jika sifat yang
menjadi shillah (ال)
maushulah mempunyai kekuatan seperti fi’il dan ma’mul marfu’nya, maka dianggap
baik meng’athafkan fi’il dan ma’mul marfu’nya kepadanya, seperti (وَ الْعاَدِياَتِ
ضَبْحاً فَالْمُورِياَتِ قَدْحاً فَالْمُغِيْراَتِ صُبْحاً فَأَثَرْنَ بِهِ
نَقْعاً فَوَسَطْنَ بِهِ جَمْعاً).
Adapun jika sifat
yang bebarengan dengan (ال)
berupa sifat musyabbahat atau isim tafdlil atau shighat
mubalaghah, maka (ال)
yang masuk kepada bukanlah (ال)
Maushulah, namun huruf ta’rif, karena sifat-sifat itu me-nunjukkan pada makna
tetap sehingga tidak menyerupai fi’il dari segi menunjukkannya fi’il pada makna
tajaddud (dapat diperbaharui), sehingga sifat-sifat itu tidak sah
menjadi shillah-nya (ال).[9]
[1] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 147
[2] Fath Rab
al-Bariyyah, hlm. 24
[3] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 148
[4] Fath Rab
al-Bariyyah, hlm. 24
[5] Tasywiq
al-Khillan, hlm. 174
[6] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 151
[7] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 152
[8] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 152
[9] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 153
No comments:
Post a Comment