Monday, April 9, 2018

MUBTADA’ SIFAT


Terkadang sifat dibaca rafa’ menjadi mubtada’, jika sifat itu tidak sesuai dengan maushuf-nya dalam hal tatsniyyah atau jama’, sehingga dia tidak membutuhkan khabar, tetapi cukup dengan fa’il atau na’ibul fa’il, dan fa’il atau na’ibul fa’il itu dirafa’kan oleh sifat dengan menempati tempatnya khabar, dengan syarat sifat itu harus didahului nafi atau istifham.[1] Dengan demikian, maka sifat itu menempati tempatnya fi’il, yang oleh karenanya tidak boleh ditatsniyyahkan dan dijama’kan, tidak boleh di-sifati, di-tatshghir dan tidak boleh dima’rifatkan. Namun, imam Akhfasy dan para ulama’ Kuffah tidak mensyaratkannya,[2] sehingga mereka memperbolehkan jika diucapkan (ناَجِحٌ وَلَدَاكَ وَ مَمْدُوحٌ اَبْناَئُكَ).
Tidak ada bedanya antara sifat itu adalah musytaq, seperti (ماَ ناَجِحٌ الْكَسُولاَنِ), atau berupa isim jamid yang mengandung makna sifat, seperti (هَلْ صَخْرٌ هَذَانِ الْمُعاَنِدَانِ؟). Dan juga tidak ada bedanya antara adanya nafi atau istifham itu dengan huruf, seperti dalam contoh di atas, atau dengan selain huruf, seperti (لَيْسَ كَسُولٌ وَلَدُكَ وَ غَيْرُ كَسُولٍ اَبْناَؤُكَ وَ كَيْفَ سَائِرٌ اَخَوَاكَ), akan tetapi jika bersama (لَيْسَ), maka sifat itu akan menjadi isimnya (لَيْسَ) dan lafal yang dbaca rafa’ setelahnya dibaca rafa’ menempati tempatnya khabarnya (لَيْسَ). Dan ketika bersama (غَيْرُ), maka mubtada’ akan berpindah kepada (غَيْرُ) dan sifat dijerkan dengan diidlafahkan kepadanya dan lafal setelah sifat dibaca rafa’ menempati tempatnya khabar. Sifat yang menjadi mubtada’, terkadang merafa’kan isim dzahir, seperti:
اَ قَاطِنٌ قَومُ سَلْمَى اَمْ نَوَوْا ظَعَناَ؟ * اِنْ يَظْعَنُوا فَعَجِيْبٌ عَيْشُ مَنْ قَطَناَ
Atau dlamir munfashil, seperti,
خَلِيْلِيَّ ماَ وَافٍ بِعَهْدِيَ اَنْتُماَ * اِذَا لَمْ تَكُوْناَ لِيْ عَلَى مَنْ اُقَاطِعُ
Jika sifat itu merafa’kan dlamir mustatir, (زُهَيْرٌ لاَ كَسُوْلٌ وَ لاَ بَطِيْءٌ), maka sifat itu tidak termasuk dalam bab ini, namun dia menjadi khabarnya lafal sebelumnya. Begitu juga ketika sifat itu merasa cukup dengan ma’mul marfu’-nya, (ماَ كَسُولٌ اَخَوَاهُ وُهَيْرٌ), maka dia disini adalah khabar yang didahulukan dan (زُهَيْرٌ) adalah mubtada’ yang diakhirkan, sedangkan (اَخَوَاهُ) adalah fa’ilnya (كَسُولٌ).
Perlu diketahui bahwa sifat, yang dijadikan mubtada’, lalu sifat itu merasa cukup dengan ma’mul marfu’-nya dari khabar, sesungguhnya dia adalah sifat yang berbeda dengan lafal setelahnya dalam hal tatsniyyah dan jama’, seperti keterangan di atas. Dan jika sifat itu sesuai dengan lafal setelahnya dalam tatsniyyah dan jama’, maka sifat itu adalah khabar yang didahulukan dan lafal setelahnya adalah mubtada’ yang diakhirkan,[3] seperti (ماَ مُسَافِرَانِ اَخَوَايَ فَهَلْ مُسَافِرُونَ إِخْوَتُكَ؟).
Adapun jika sifat itu sesuai dengan lafal setelahnya dalam mufrad, seperti (هَلْ مُسَافِرٌ اَخُوْكَ؟), maka diperbolehkan untuk menjadikan sifat sebagai mubtada’, sehingga lafal setelahnya dirafa’kan olehnya yang tidak membutuhkan khabar, dan boleh menjadikannya sebagai khabar yang didahulukan dan lafal setelahnya adalah mubtada’ yang diakhirkan.



[1] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 269
[2] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 269
[3] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 271

No comments:

Post a Comment