Terkadang sifat dibaca rafa’ menjadi mubtada’,
jika sifat itu tidak sesuai dengan maushuf-nya dalam hal
tatsniyyah atau jama’, sehingga dia tidak membutuhkan khabar, tetapi cukup
dengan fa’il atau na’ibul fa’il, dan fa’il atau na’ibul fa’il itu dirafa’kan
oleh sifat dengan menempati tempatnya khabar, dengan syarat sifat
itu harus didahului nafi atau istifham.[1]
Dengan demikian, maka sifat itu menempati tempatnya fi’il, yang oleh
karenanya tidak boleh ditatsniyyahkan dan dijama’kan, tidak boleh di-sifati,
di-tatshghir dan tidak boleh dima’rifatkan. Namun, imam Akhfasy dan para
ulama’ Kuffah tidak mensyaratkannya,[2]
sehingga mereka memperbolehkan jika diucapkan (ناَجِحٌ وَلَدَاكَ وَ مَمْدُوحٌ
اَبْناَئُكَ).
Tidak ada bedanya antara sifat itu adalah musytaq,
seperti (ماَ ناَجِحٌ الْكَسُولاَنِ), atau berupa isim jamid yang
mengandung makna sifat, seperti (هَلْ صَخْرٌ
هَذَانِ الْمُعاَنِدَانِ؟). Dan juga
tidak ada bedanya antara adanya nafi atau istifham itu dengan huruf, seperti
dalam contoh di atas, atau dengan selain huruf, seperti (لَيْسَ كَسُولٌ
وَلَدُكَ وَ غَيْرُ كَسُولٍ اَبْناَؤُكَ وَ كَيْفَ سَائِرٌ اَخَوَاكَ), akan tetapi jika bersama (لَيْسَ), maka sifat itu akan menjadi
isimnya (لَيْسَ) dan lafal
yang dbaca rafa’ setelahnya dibaca rafa’ menempati tempatnya khabarnya (لَيْسَ). Dan ketika bersama (غَيْرُ), maka mubtada’ akan berpindah kepada (غَيْرُ) dan sifat dijerkan dengan
diidlafahkan kepadanya dan lafal setelah sifat dibaca rafa’ menempati
tempatnya khabar. Sifat yang menjadi mubtada’, terkadang merafa’kan isim
dzahir, seperti:
اَ قَاطِنٌ قَومُ سَلْمَى اَمْ
نَوَوْا ظَعَناَ؟ * اِنْ يَظْعَنُوا فَعَجِيْبٌ عَيْشُ مَنْ قَطَناَ
Atau dlamir munfashil, seperti,
خَلِيْلِيَّ ماَ وَافٍ
بِعَهْدِيَ اَنْتُماَ * اِذَا لَمْ تَكُوْناَ لِيْ عَلَى مَنْ اُقَاطِعُ
Jika sifat itu merafa’kan dlamir mustatir,
(زُهَيْرٌ لاَ كَسُوْلٌ وَ لاَ بَطِيْءٌ), maka sifat itu tidak termasuk dalam bab
ini, namun dia menjadi khabarnya lafal sebelumnya. Begitu juga ketika sifat itu
merasa cukup dengan ma’mul marfu’-nya, (ماَ كَسُولٌ
اَخَوَاهُ وُهَيْرٌ), maka dia
disini adalah khabar yang didahulukan dan (زُهَيْرٌ) adalah mubtada’ yang diakhirkan,
sedangkan (اَخَوَاهُ)
adalah fa’ilnya (كَسُولٌ).
Perlu diketahui bahwa sifat, yang dijadikan
mubtada’, lalu sifat itu merasa cukup dengan ma’mul marfu’-nya
dari khabar, sesungguhnya dia adalah sifat yang berbeda dengan lafal
setelahnya dalam hal tatsniyyah dan jama’, seperti keterangan di
atas. Dan jika sifat itu sesuai dengan lafal setelahnya dalam tatsniyyah
dan jama’, maka sifat itu adalah khabar yang didahulukan dan
lafal setelahnya adalah mubtada’ yang diakhirkan,[3]
seperti (ماَ مُسَافِرَانِ اَخَوَايَ فَهَلْ
مُسَافِرُونَ إِخْوَتُكَ؟).
Adapun jika sifat itu sesuai dengan lafal
setelahnya dalam mufrad, seperti (هَلْ مُسَافِرٌ
اَخُوْكَ؟), maka
diperbolehkan untuk menjadikan sifat sebagai mubtada’, sehingga lafal
setelahnya dirafa’kan olehnya yang tidak membutuhkan khabar, dan boleh
menjadikannya sebagai khabar yang didahulukan dan lafal setelahnya adalah
mubtada’ yang diakhirkan.
[1] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 269
[2] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 269
[3] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 271
No comments:
Post a Comment