I’rab jer
mempunyai tiga tanda, yaitu: kasrah, ya’ dan fathah. Alamat asal bagi i’rab jer
adalah kasrah, sedangkan alamat lainnya adalah sebagai pengganti dari kasrah.[1]
1) Kasrah
Kasrah menjadi
alamat i’rab jer masuk di tiga tempat,[2]
a) Isim Mufrad Munsharif, seperti (مَرَرْتُ بِزَيْدٍ).
b) Jama’ Taksir Munsharif, seperti (مَرَرْتُ بِالرِّجَالِ).
c) Jama’ Mu’annats Salim, seperti (مَرَرْتُ بِالْمُسْلِمَاتِ).
Semua Jama’
Mu’annats Salim yang tidak berupa ‘alam adalah munsharif. Namun, jika
berupa ‘alam, maka ada dua pendapat, yaitu ada yang menghukuminya munsharif
sebagai lawan dari nun yang berada di Jama’ Mudzakar Salim yang tanwinnya
dinamakan Tanwin Muqabalah, dan ada yang menghukuminya ghairu
munsharif. [3]
Jadi, ketika Jama’ Mu’annats Salim dibaca jer, maka terdapat tiga macam i’rab,
yaitu: ditandai dengan kasrah yang ditanwin (مَرَرْتُ بِهِنْدَاتٍ), ditandai dengan kasrah tanpa ditanwin (مَرَرْتُ بِهِنْدَاتِ) dan ditandai dengan fathah tanpa ditanwin
(مَرَرْتُ بِهِنْدَاتَ).[4]
2) Ya’
Ya’ menjadi
alamatnya i’rab jer masuk ditiga tempat, yaitu:[5]
a) Isim Tatsniyyah, seperti (مَرَرْتُ بِالزَّيْدَيْنِ).
b) Jama’ Mudzakar Salim, seperti (مَرَرْتُ بِالزَّيْدِيْنَ).
c) Asma’ul Khamsah yang sudah memenuhi syarat, seperti (مَرَرْتُ بِأَبِيْكَ).
3) Fathah
Fathah menjadi
alamatnya i’rab jer hanya masuk pada isim ghairu munsharif, seperti (مَرَرْتُ بِأَحْمَدَ).
Isim Ghairu
Munsharif adalah isim yang
mempunyai dua illat far’iyyah (dua sebab yang bersifat cabangan)
yang satu kembali kepada lafalnya dan yang lainnya kembali kepada maknanya,
atau memiliki satu illat yang sudah mencukupi dari dua illat,[6]
seperti lafal (اَحْمَدُ).
Lafal itu tercegah dari ditanwin sharfi karena lafal itu mempunyai dua illat
keserupaan dengan fi’il, illat tersebut adalah illat yang kembali kepada
lafalnya yang berupa wazan fi’il yang merupakan cabang dari wazan isim (karena
fi’il itu musytaq atau terbuat dari masdar) dan illat yang
kembali kepada maknanya yang berupa alam (dijadikan nama) yang dilalah-nya
adalah ma’rifat, cabang dari nakirah.
Disini kita perlu
mengetahui dua illat far’iyyah yang terdapat dalam kalimah fi’il,
yaitu illat yang kembali kepada lafal dan illat yang kembali
kepada makna. Illat yang kembali kepada lafalnya adalah kalimah fi’il
terbuat dari masdar menurut ulama’ Basrah atau keserupaannya dengan tarkib atau
tersusun, namun menurut ulama’ Kuffah karena kalimah fi’il menunjukkan pada
makna hadats dan zaman. Dan illat yang kembali kepada makna
adalah karena kalimah fi’il membutuhkan pada fa’il untuk bisa menyempurnakan
maknanya.
Macam Isim Ghairu Munsharif
Isim Ghairu
Munsharif ada dua macam, yaitu: yang
tidak boleh ditanwin sharfi karena mempunyai satu illat dan tidak
boleh ditanwin sharfi karena mempunyai dua sebab. Isim yang tidak boleh
ditanwin sharfi karena mempunyai satu illat adalah semua isim
yang huruf terakhirnya berupa alif ta’nits mamdudah,
seperti (صَحْرَاءُ),
atau alif ta’nits maqshurah, seperti (حُبْلَى), atau isim tersebut mengikuti wazan sighat
muntahal jumu’, baik isim tersebut mufrad atau jama’, seperti (مَسَاجِدُ) dan (سَرَاوِيْلُ).
Isim yang
tercegah dari tanwin sharfi dikarenakan dua illat, adakalanya
berupa ‘alam dan adakalanya berupa sifat.
‘Alam yang
tercegah dari tanwin sharfi berada di tujuh tempat, yaitu:[7]
a) Berupa ‘alam mu’annats
(menjadi nama untuk wanita), baik kemu’annatsannya dengan ta’, seperti (فَاطِمَةُ), atau mu’annats ma’nawi, seperti (زَيْنَبُ).
Kecuali alam yang
berbahasa Arab yang hurufnya ada tiga dan huruf yang tengahnya mati, seperti (دَعْد), (هِنْد) dan (جُمْل), maka diperbolehkan mencegahnya dari
tanwin sharfi dan boleh untuk mentanwinnya.
b) Berupa ‘alam ‘ajam yang
hurufnya lebih dari tiga, seperti (اِبْرَاهِيْمُ). Dan jika hurufnya ada tiga maka dihukumi
munsharif, baik huruf tengahnya berharakat, seperti (لَمَكٌ), atau mati, seperti (نُوْحٌ).
c) Berupa ‘alam yang berwazan
fi’il. Tidak ada bedanya antara ‘alam itu merupakan penyalinan dari
kalimah fi’il, seperti (يَشْكُرُ),
atau dari isim yang berwazan fi’il, seperti (دُئِلُ).
Yang dihitung
disini, dalam isim ghairu munsharif, adalah wazan yang terkhusus pada
kalimah fi’il atau wazan yang biasanya berada dalam kalimah fi’il. Adapun wazan
yang kebanyakan berada dalam kalimah isim, maka tidak bisa mencegah dari tanwin
sharfi, meskipun wazan itu juga digunakan dalam kalimah fi’il, yaitu
wazan (فَعَلٌ),
seperti (حَسَنٌ), (فَعِلٌ), seperti (كَتِفٌ), (فَعُل), seperti (عَضُدٌ), (فَاعِلٌ), seperti (صَالِحٌ) dan (فَعْلَلٌ), seperti (جَعْفَرٌ).[8]
Yang diinginkan
dengan wazan yang terkhusus pada kalimah fi’il adalah wazan yang tidak berlaku
pada selain kalimah fi’il, dan jikapun ada maka dihitung langka dan tidak
dianggap, seperti:[9]
(1)
Wazan
fi’il madli yang dimulai dengan ta’ muthawa’ah (تَفَعَّلَ), seperti (تَعَلَّمَ).
(2)
Wazan
fi’il madli yang diawali dengan hamzah washal, seperti (اِنْطَلَقَ).
(3)
Wazan
fi’il mudlari’ selain (اَفْعُلُ), (نَفْعُلُ), (تَفْعُلُ) dan (يَفْعُلُ).
(4)
Wazan
fi’il amar dari selain madli (فَاعَلَ) dan selainnya
Tsulatsi.
(5)
Fi’il
madli yang mabni majhul, seperti (ضُرِبَ).
(6)
Wazan
(فَعَّلَ), seperti (كَلَّمَ).
Sehingga jika ada
orang yang bernama (ضُرِبَ),
maka hukumnya adalah ghairu munsharif, seperti (هَذَا ضُرِبُ).
Yang diinginkan
dengan wazan yang kebanyakan pada kalimah fi’il adalah wazan yang lebih banyak
berada dalam kalimah fi’il dibandingkan dalam kalimah isim, atau lafal yang
huruf pertamanya terdapat huruf zaidah yang menunjukkan makna pada
kalimah fi’il bukan pada kalimah isim,[10]
seperti (اِثْمِدْ)
yang menjadi nama celak.
d) Berupa ‘alam yang tersusun
dengan tarkib mazji yang tidak diakhiri dengan (وَيْهِ), seperti (بَعْلَبَكُّ).
e) Berupa ‘alam yang diberi
tambahan alif dan nun, (عُثْمَانُ).
f) Berupa ‘alam yang ma’dul,
yaitu dengan sekiranya berwazan (فُعَلُ), sehingga dikira-kirakan lafal itu di
pindah atau di-ma’dul dari wazan (فَاعِلٌ), seperti (عُمَرُ) yang di ma’dul dari lafal (عَامِرٌ).
Para ulama’ telah
menghitung ‘alam ma’dul yang telah didengar dari orang Arab sebanyak
lima belas nama, yaitu (عُمَرُ),
(زُفَرُ), (زُحَلُ), (ثُعَلُ), (جُشَمُ), (جُمَحُ), (قُزَحُ), (دُلَفُ), (عُصَمُ), (جُحَى), (بُلَعُ), (مُضَرُ), (هُبَلُ), (هُذَلُ) dan (قُثَمُ). Dan disamakan dengannya adalah (جُمَعُ), (كُتَعُ), (بُصَعُ) dan (بُتَعُ) yaitu isim-isim yang digunakan untuk
mentaukidi jama’ mu’anntas, (جَائَتِ النِّسَاءُ جُمَعُ وَ كُتَعُ وَ
بُصَعُ وَ بُتَعُ).[11]
g) Berupa ‘alam yang terakhirnya
diberi tambahan alif untuk ilhaq, seperti (اَرْطَى) yang kita jadikan nama, karena alifnya
adalah ditambahkan untuk menyamai wazannya (جَعْفَر).
Adapun sifat
yang tercegah dari tanwin sharfi berada di tiga tempat, yaitu:[12]
a) Sifat asal yang berwazan (اَفْعَلَ), seperti (اَحْمَرُ), dengan syarat sifat itu tidak
dita’nitskan dengan ta’.
Jadi, jika
dita’nitskan dengan ta’, maka tidak tercegah dari tanwin sharfi, seperti
(اَرْمَلٌ)
yang mu’annatsnya adalah (اَرْمَلَةٌ).
Jika sifatnya adalah ‘aridli atau tidak asal, yaitu dengan sekiranya
makna asalnya adalah isim bukan sifat lalu diberlakukan bermakna sifat,
seperti (اَرْبَعٌ)
yang makna asalnya adalah isim ‘adad atau isim yang menunjukkan pada
makna hitungan lalu diberlakukan bermakna sifat, maka tidak bisa
tercegah dari tanwin sharfi.[13]
b) Sifat yang berwazan (فَعْلاَنَ), seperti (سَكْرَانَ), dengan syarat tidak dita’nitskan dengan
ta’.
Jika dita’nitskan
dengan ta’, maka tidak tercegah dari tanwin sharfi, seperti (سَيْفَانٌ) yang mu’annatsnya adalah (سَيْفَانَةٌ). Para ulama’ telah menghitung sifat yang
datang dengan berwazan (فَعْلاَن)
yang mu’annatsnya berwazan (فَعْلاَنَةٌ) sebanyak tiga belas sifat, yaitu (نَدْمَانٌ), (حَبْلاَنٌ), (دَخْنَانٌ), (سَيْفَانٌ), (صَوْجَانٌ), (صَيْحَانٌ), (سَخْنَانٌ), (مَوْتَانٌ), (عَلاَّنٌ), (فَشْوَانٌ), (نَصْرَانٌ), (مَصَّانٌ) dan (اَلْيَانٌ).[14]
Semua sifat
tersebut adalah munsharif dikarenakan mu’annatsnya dengan ta’, dan sifat
selain sifat-sifat tersebut adalah ghairu munsharif karena
mu’annatsnya berwazan (فَعْلَى),
seperti (عَطْشَانُ)
yang mu’annatsnya adalah (عَطْشَى).
c) Berupa sifat yang ma’dul,
yaitu dengan sekiranya sifat itu dipindah atau di-ma’dul dari
wazan yang lain. Pemindahan atau ‘adal yang ada pada sifat
terjadi didua tempat,[15]
(1)
Hitungan
yang berwazan (فُعَالُ) atau (مَفْعَلُ), seperti (ثُنَاءُ) dan (مَثْنَى), yang dipindah
dari lafal (اِثْنَيْنِ اِثْنَيْنِ).
Ketika kita
mengucapkan (جَاءَ الْقَوْمُ مَثْنَى), maka artinya adalah mereka datang dua
dua. Para ulama mengatakan bahwa ‘adal yang terjadi pada isim adad
adalah didengar dari orang Arab sampai hitungan empat, tetapi ulama Nahwu telah
mengqiyasikannya sampai hitungan sepuluh. Namun, yang benar adalah, bahwa ‘adal
tersebut telah didengar dari hitungan satu sampai sepuluh dan hitungan yang ada
diantara keduanya.[16]
(2)
Pada
lafal (اُخَرُ), pada semisal (مَرَرْتُ بِنِسَاءٍ اُخَرَ), merupakan
jama’nya lafal (اُخْرَى) mu’annatsnya lafal (آخَرَ).
(آخَرَ) adalah isim tafdlil berwazan (اَفْعَلَ) dengan makna (مُغَايِرٌ) atau sesuatu yang lain. Kalau disesuaikan
dengan qiyasinya maka seharusnya diucapkan (مَرَرْتُ بِنِسَاءٍ
آخَرَ) seperti telah diucapkan pada semisal (مَرَرْتُ بِنِسَاءٍ
اَفْضَلَ) dengan me-mufradkan
sifat dan memudzakarkannya, tidak diucapkan (بِنِسَاءٍ اُخَرَ), karena (اَفْعَلَ) isim tafdlil ketika dikosongkan dari (ال) dan idlafah, maka tidak boleh
dimu’annatskan, tidak boleh ditatsniyyahkan dan tidak boleh dijama’kan.[17]
[1] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz I, hlm. 21
[2] Asymawi, hlm.
17
[3] An-Naja, hlm.
31
[4] Tasywiq
al-Khillan, hlm. 75
[5] Hamisy Tasywiq
al-Khillan, hlm. 75
[6] Al-Mufasshal
fi Shun’ah al-I’rab, Juz I, hlm. 3
[7] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 212-218
[8] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 214
[9] Tasywiq
al-Khillan, hlm. 78
[10] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 215
[11] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 218
[12] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 219-222
[13] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 219
[14] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 220
[15] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 221
[16] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 221
[17] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 221
No comments:
Post a Comment