Isytighal adalah mendahulukan isim atas amil
yang haknya adalah menashabkan isim itu seandainya amil itu tidak sibuk
mengamalkan dlamir yang kembali kepada isim yang didahulukan itu,[1]
seperti (خاَلِدٌ
اَكْرَمْتُهُ).
Ketika kita mengucapkan (خاَلِداً
اَكْرَمْتُ),
maka (خاَلِداً)
adalah maf’ul bihnya (اَكْرَمْتُ). Dan jika kita mengucapkan (خاَلِدٌ
اَكْرَمْتُهُ),
maka (خاَلِدٌ)
haknya adalah menjadi maf’ul bihnya (اَكْرَمْتُهُ) juga, akan tetapi fi’il disini sedang
sibuk mengamalkan dlamirnya, yaitu ha’, dan itulah makna dari isytighal.
Yang lebih baik adalah membaca rafa’ isim yang berada didepannya amil
sebagai mubtada’, seperti yang telah kalian lihat, dan jumlah setelah menjadi
khabarnya, dan diperbolehkan juga untuk mem-bacanya nashab, (خاَلِداً
اَكْرَمْتُهُ).
Amil yang menashabkan isim itu adalah
berupa fi’il yang wajib untuk dikira-kirakan, sehingga tidak diperbolehkan
untuk memperlihatkannya. Dan amil yang dibuang itu dikira-kirakan dari
lafal yang disebutkan setelahnya, kecuali jika lafal yang disebutkan itu berupa
fi’il lazim yang di-muta’addi-kan dengan huruf jer, seperti (الْعاَجِزَ
اَخَذْتُ بِيَدِهِ),
maka dikira-kirakan dari maknanya. Sehingga, penakdiran lafal yang dibuang
adalah (رَأَيْتُ)
pada semisal contoh (خاَلِداً
اَكْرَمْتُهُ),
dan pen-takdirannya adalah (أَعَنْتُ) pada contoh (الْعاَجِزَ
اَخَذْتُ بِيَدِهِ).[2]
Terkadang
datang kepada isim yang di-isytighal-kan, perkara yang mewajibkan untuk
membacanya nashab atau memenangkan dibaca nashab, dan perkara yang mewajibkannya
rafa’ atau memenangkannya dibaca rafa’.
Wajib
membaca nashab isim itu ketika jatuh setelah perabot tahdlidl, syarat
dan istifham dengan selain hamzah, seperti (هَلاَ
الْخَيْرَ فَعَلْتَهُ),
(إِنْ عَلِياًّ لَقَيْتَهُ
فَسَلِّمْ عَلَيْهِ)
dan (هَلْ خاَلِداً اَكْرَمْتَهُ؟). Akan tetapi, isytighal setelah
perabot istifham dan syarat hanya terjadi pada syair, kecuali jika
perabot syaratnya berupa (إِنْ) dan fi’il setelahnya berupa fi’il madli,
atau berupa (إِذَا) secara mutlak, seperti (إِذَا
عَلِياًّ لَقَيْتَهُ اَو تَلْقاَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ).
Dimenangkan
untuk membaca nashab di lima bentuk,[3]
a.
Ketika amar jatuh setelah isim, (خاَلِداً اَكْرِمْهُ)
dan (عَلِياًّ لِيُكْرِمْهُ سَعِيْدٌ).
b.
Ketika nahi jatuh setelah isim, (الْكَرِيْمَ لاَ تُهِنْهُ)
c.
Fi’il do’a jatuh setelah isim, (اَللَّهُمَّ
اَمْرِي يَسِّرْهُ وَ عَمَلِي لاَ تُعَسِّرْهُ).
Namun, terkadang do’a itu datang dengan bentuk kalam khabar, (سَلِيْماً
غَفَرَ اللهُ لَهُ وَ خاَلِداً هَدَاهُ اللهُ).
d.
Ketika isim berada setelah hamzah istifham, (اَ
بَشَراً مِناَّ وَاحِداً نَتَّبِعُهُ؟).
e.
Isim jatuh menjadi jawabnya perkara yang ditanyakan yang
dibaca nashab, (عَلِياًّ
اَكْرَمْتُهُ)
“Kepada Ali aku memuliakannya,” sebagai jawaban dari pertanyaan (مَنْ
اَكْرَمْتَ؟)
“Siapa yang kamu muliakan?”
Diwajibkan
untuk merafa’kan isim di tiga tempat, yaitu:[4]
a.
Ketika isim jatuh setelah (إِذَا)
fuja’iyyah, seperti (خَرَجْتُ فَإِذاً الْجَوُّ يَمْلَؤُهُ الضَّباَبُ).
Karena orang Arab tidak akan menyandingkan (إِذَا)
kecuali kepada mubtada’, seperti (وَ نَزَعَ يَدَهُ فَإِذاً هِيَ بَيْضَاءُ
لِلنَّاظِرِيْنَ),
atau khabar, seperti (فَإِذاً لَهُمْ مَكْرٌ فِي آياَتِناَ).
Dan jika fi’il setelahnya dibaca nashab, maka dengan menakdirkan fi’il
setelahnya, dan (إِذَا)
tidak bisa masuk pada kalimah fi’il.
b.
Isim itu jatuh setelah waw haal, (جِئْتُ
وَ الْفَرَسُ يَرْكَبُهُ اَخُوكَ).
c.
Isim itu jatuh sebelum perabot istifham atau syarat
atau tahdlidl atau (ماَ) nafi, atau lam ibtida’iyyah
atau (ماَ)
ta’ajjubiyyah atau (كَمْ) khabariyyah atau (إِنَّ) dan sesamanya, (زُهَيْرٌ
هَلْ اَكْرَمْتَهُ؟),
(سَعِيْدٌ
إِنْ لَقَيْتَهُ فَأَكْرِمْهُ),
(خَالِدٌ
هَلاَّ دَعَوتَهُ),
(الشَّرُّ
ماَ فَعَلْتُهُ),
(الْخَيْرُ
لأَناَ اَفْعَلُهُ),
(الْخُلُقُ الْحَسَنُ ماَ
اَطْيَبَهُ!),
(زُهَيْرٌ
كَمْ اَكْرَمْتُهُ)
dan (اُسَامَةُ
إِنِّي اُحِبُّهُ).
Isim
itu pada semua keadaannya adalah sebagai mubtada’ dan jumlah yang ada
setelahnya adalah khabarnya. Dan tidak diperbolehkan untuk menashabkan isim itu
dengan fi’il yang dibuang yang ditafsiri dengan lafal yang disebut setelahnya
adalah karena lafal setelah perabot-perabot itu tidak bisa beramal kepada lafal
setelahnya, dan lafal yang tidak bisa beramal maka tidak bisa diartikan sebagai
amil.
Diunggulkan
untuk dibaca rafa’ ketika isim itu bukanlah termasuk kategori lafal yang harus
dibaca nashab atau meng-unggulkan nashab atau mewajibkan dibaca rafa’ atau
meng-unggulkan rafa’, seperti (خاَلِدٌ
اَكْرَمْتُهُ),
karena jika ada perputaran diantara menakdirkan dan tidak, maka yang lebih
diutama-kan adalah tidak menakdirkan.
[1] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 20
[2] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 21
[3] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 21
[4] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 22
No comments:
Post a Comment