Na’ibul Fa’il
adalah musnad ilaih yang jatuh setelah fi’il yang mabni majhul
atau yang serupa dengannya,[1] (يُكْرَمُ الْمُجِتَهِدُ) dan (اَلْمَحْمُودُ خُلُقُهُ
مُمْدُوحٌ). Lafal (الْمُجِتَهِدُ) diisnadkan kepada fi’il mabni majhul,
yaitu (يُكْرَمُ),
sedangkan (خُلُقُهُ)
diisnadkan pada syibih fi’il majhul, yaitu (اَلْمَحْمُودُ). Keduanya adalah na’ibul fa’il untuk
lafal yang diisnadinya. Yang dimaksud dengan syibih fi’il mabni majhul
adalah isim maf’ul, seperti pada contoh di atas, dan isim yang dinasabkan,
seperti (صَاحِبْ رَجُلاً نَبَوِياًّ خُلُقُهُ). Lafal (خُلُقُهُ) adalah nai’bul fa’ilnya (نَبَوِياًّ), karena isim yang dinashabkan adalah di-ta’wil
dengan isim maf’ul, sehingga penakdirannya (صَاحِبْ رَجُلاً
مَنْسُوباً خُلُقُهُ اِلَى الْأَنْبِيَاءِ).
Na’ibil fa’il menempati tempatnya fa’il setelah fa’il
dibuang, dan hukum yang terdapat dalam fa’il juga berlaku pada na’ibul fa’il,
seperti harus dibaca rafa’, harus jatuh setelah musnad, harus disebut
dalam kalam (: bila tidak disebut, maka na’ibul fa’il berupa dlamir mustatir),
fi’ilnya harus dimu’annatskan bila na’ibul fa’il mu’annats, fi’ilnya harus
mufrad meskipun na’ibul fa’ilnya berupa tatsniyyah atau jama’, dan
diperbolehkan membuang fi’ilnya karena ada qarinah yang menunjukkannya.[2]
Ketika fa’il dibuang, maka tidak diperbolehkan untuk
menunjukkan dalam kalam sesuatu yang dapat menunjukkan pada fa’il, sehingga
tidak boleh diucapkan, (عُوقِبَ الْكَسُولُ مِنَ
الْمُعَلِّمِ), tetapi
diucapkan (عُوقِبَ الْكَسُولُ).
Dan jika kita ingin menunjukkan pada fa’ilnya, maka harus didatangkan dengan
fi’il yang mabni maklum, sehingga kita ucapkan (عَاقَبَ الْمُعَلِّمُ
الْكَسُولَ), atau dengan
isim fa’il, sehingga diucapkan, (اَلْمُعَلِّمُ مُعَاقِبُ
الْكَسُولَ).
Sebab-sebab Pembuangan Fa’il
Fa’il dibuang adakalanya karena,[3]
a. Sudah maklum, sehingga tidak ada
hajat lagi untuk menyebutkannya, karena fa’il sudah diketahui, seperti (خُلِقَ الْإِنْسَانُ
ضَعِيْفاً).
b. Fa’il tidak diketahui, sehingga
tidak mungkin bagi kita
untuk menentukannya, seperti (سُرِقَ الْبَيْتُ).
c. Untuk menyamarkan fa’il, seperti (رُكِبَ الحصَانُ), yaitu ketika kita sudah tahu siapa orang
yang naik namun kita tidak ingin untuk memperlihatkannya.
d. Takut kepada fa’il, seperti (ضُرِبَ فُلاَنٌ), ketika kita sudah tahu siapa yang
memukul Fulan, tetapi kita takut kepadanya sehingga kita tidak menyebutkannya.
e. Karena kemuliaan fa’il, seperti (عُمِلَ عَمَلٌ
مُنْكَرٌ), ketika kita
tahu siapa yang melakukannya, namun kita tidak menyebutnya untuk menjaga
kemuliaan dia.
f. Mengagungkan fa’il, karena menjaga
namanya fa’il dari lidahnya mutakallim atau dijaga dari disebutkan bersamaan
fa’il, seperti (خُلِقَ الْخِنْزِيْرُ).
g. Menghina fa’il, seperti (طُعِنَ عُمَرُ).
h. Bencinya sami’ terhadap nama
fa’il, seperti (قُتِلَ حُسَيْنُ).
i. Karena memang tidak ada faidah
apapun dalam menyebutkan fa’il, seperti (وَ اِذَا حُيِّيْتُمْ
بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهاَ اَو رُدُّوهاَ),
karena menyebutkan siapa yang memberi penghormatan adalah tidak ada faidahnya,
tetapi yang menjadi tujuan adalah kewajiban membalas penghormatan kepada setiap
orang yang memberi penghormatan.
[1] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 246
[2] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 246
[3] Tasywiq
al-Khillan, hlm. 133
No comments:
Post a Comment