Disini kita perlu
juga untuk mengetahui apakah itu ‘amil, ma’mul dan ‘amal?
‘Amil
adalah lafal yang bisa membuat rafa’ atau nashab atau jer pada lafal yang
menyandinginya.[1]
Yang bisa menjadi ‘amil adalah kalimah fi’il dan lafal-lafal yang
menyerupainya (: Isim Fa’il, Isim Maf’ul, Masdar, Isim Tafdlil, Sifat
Musyabbahat dan Isim Fi’il), perabot yang bisa menashabkan Fi’il Mudlari’ atau
yang menjazemkannya, huruf yang bisa menashabkan Mubtada’ dan yang merafa’kan
Khabar, huruf yang bisa merafa’kan Mubtada’ dan yang menashabkan Khabar, huruf
jer, Mudlaf dan Mubtada’.[2]
‘Amil ada
dua macam, yaitu ‘Amil Lafdzi dan ‘Amil Ma’nawi.[3] ‘Amil
Lafdzi adalah lafal yang bisa memberi pengaruh kepada lafal lainnya
yang dilafalkan, seperti pada contoh yang telah disebutkan di atas. ‘Amil
Ma’nawi adalah kosongnya Kalimah Isim atau Fi’il Mudlari’ dari lafal
yang bisa mempengaruhinya yang dilafalkan. Kekosongan itu termasuk dalam ‘amil
yang bisa merafa’kan. Yang dinamakan tajarrud atau kekosongan adalah
tidak disebutkannya ‘amil. Itu adalah sebab ma’nawi dalam
merafa’kannya ‘amil itu pada lafal yang dikosongkan dari ‘amil
yang bersifat lafdzi, seperti Mubtada’ dan Fi’il Mudlari’ yang tidak didahului
‘amil nawashib dan ‘amil jawazim.
Ma’mul adalah lafal yang huruf terakhirnya mengalami perubahan
dengan rafa’ atau nashab atau jer atau jazem dengan mendapat pengaruh dari ‘amil.
Yang bisa menjadi ma’mul adalah Kalimah Isim dan Fi’il Mudlari’.[4]
Ma’mul ada dua macam, yaitu ma’mul bil ashalah (:
asalnya memang sudah menjadi ma’mul), yaitu lafal yang mendapat pengaruh
dari ‘amil secara langsung, seperti fa’il dan na’ibul fa’il, mubtada’
dan khabarnya, isimnya fi’il naqish dan khabarnya, isimnya (إِنَّ) dan sesamanya serta khabarnya, bermacam
maf’ul, haal, tamyiz, mustatsna, mudlaf ilaih dan fi’il mudlari’. Dan ma’mul
bil tab’iyyah, yaitu lafal yang mendapat pengaruh dari ‘amil dengan
lantaran mengikuti lafal yang lainnya, seperti na’at, ‘athaf, taukid dan badal,
karena kesemuanya dibaca rafa’, nashab, jer atau jazem disebabkan mereka
semuanya mengikuti pada lafal yang dibaca rafa’, nashab, jer atau jazem. Dan ‘amil
pada semuanya adalah ‘amil yang terdapat pada lafal yang mereka ikuti
yang mendahuluinya.
‘Amal
(atau yang dinamakan i’rab) adalah pengaruh yang didapatkan karena
mempengaruhinya ‘amil pada lafal, yaitu dari dibaca rafa’, nashab, jer
atau jazem.[5]
Bila ditanyakan,
mengapa i’rab hanya terjadi dihuruf terakhirnya suatu kalimah, maka bisa
dijawab dari dua sisi,[6]
a. I’rab adalah dalil atau yang
menunjukkan, sedangkan lafal yang dii’rabi adalah sebagai madlul ‘alaih
atau yang ditunjukkan. Sehingga dalil tidak boleh dipasang kecuali setelah
mendahulukan madlul ‘alaih.
b. Jika i’rab diletakkan di depan, maka
hal itu tidaklah dapat dimungkinkan, karena awal dari suatu kalimah pasti
selalu berharakat, sehingga tidak akan dapat diketahui apakah kalimah itu mu’rab
ataukah mabni, dan sebagian dari i’rab ada yang jazem yang ditandai
dengan sukun.
Jika sukun
diletakkan di awal, maka tidak akan dapat dimungkinkan, karena nantinya kalimah
itu tidak dapat diucapkan. Jika i’rab diletakkan di tengah, maka wazan dari
kalimah itu tidak akan dapat diketahui, selain itu kalimah yang ruba’i
(empat hurufnya) tidak mempunyai tengah.
[1] Tasywiq
al-Khillan, hlm. 40
[2] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz III, hlm. 272
[3] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz III, hlm. 274
[4] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz III, hlm. 275
[5] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz III, hlm. 276
[6] Syarah
Mufasshal, hlm. 51
No comments:
Post a Comment