Sunday, April 8, 2018

ISIM YANG KEMASUKAN (ال)


Isim ma’rifat yang kelima adalah isim nakirah yang kemasukan (ال) yang bisa berfaidah mema’rifatkan isim tersebut, seperti (الرَّجُلُ). (ال) semuanya adalah huruf ta’rif, bukan lam saja, menurut qaul ashah, dan hamzahnya adalah hamzah qatha’ yang diwashalkan, karena sudah banyaknya penggunaan, menurut qaul arjah.[1] (ال) tersebut adakalanya untuk mema’rifatkan jinis atau yang disebut dengan (ال) Jinsiyyah, atau untuk mema’rifatkan bagian yang sudah diketahui dari jinis itu atau dinamakan dengan (ال) ‘Ahdiyyah.
1)   (ال) ‘Ahdiyyah
Adakalanya untuk ahdi dzikri, yaitu lafal yang kemasukan (ال) yang sudah disebutkan sebelumnya, seperti (جَاءَنِي ضَيْفٌ فَأَجْرَمْتُ الضَّيْفَ), “telah datang kepadaku seorang tamu, lalu aku memuliakan tamu itu.” Artinya (الضَّيْفُ) yang sudah disebutkan didepan.
Adakalanya untuk ahdi al-hudluri, yaitu lafal yang diberi (ال) adalah perkara yang hadir, seperti (جِئْتُ اَلْيَوْمَ), “aku datang pada hari ini.” Artinya, hari dimana kita sekarang ini berada.
Dan adakalanya untuk ahdi al-dzihni, yaitu lafal yang kemasukan (ال) sudah diketahui didalam hati, sehingga pemikiran akan tertuju kepadanya dengan murninya pengucapan, seperti (حَضَرَ الرَّجُلُ) “telah datang seorang lelaki” yang antara kita dan orang yang kita ajak bicara sudah ada pengetahuan tentang lelaki yang sedang kita bicarakan itu.
2)   (ال) Jinsiyyah
Adakalanya untuk menghabiskan atau istighraq dan adakalanya untuk menjelaskan hakikat. (ال) jinsiyyah yang untuk istighraq adakalanya untuk menghabiskan seluruh dari personilnya jinis, yaitu lafal yang bisa memuat seluruh komponen-komponennya jinis,[2] seperti (وَ خُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيْفاً), “manusia diciptakan lemah”, artinya, semua individu dari manusia. Adakalanya untuk menghabiskan seluruh kekhususannya jinis,[3] seperti (اَنْتَ الرَّجُلُ), “kamu adalah lelaki sempurna” artinya telah terkumpul kepadamu semua sifatnya para lelaki. Alamat dari (ال) yang berfaidah istighraq adalah pantas jika tempatnya (ال) itu ditempati oleh lafal (كُلٌّ), seperti yang telah kita lihat.
(ال) jinsiyyah yang untuk menjelaskan hakikat adalah (ال) yang untuk menjelaskan hakikat dari suatu jinis dengan tanpa memandang pada masing-masing dari jinis itu yang sesuai dengannya.[4] Oleh karenanya, tidak sah jika lafal (كُلٌّ) ditempatkan pada tempatnya (ال) tersebut, seperti (اَلرَّجُلُ اَصْبَرُ مِنَ الْمَرْأَةِ), “lelaki lebih bersabar dibandingkan perempuan”, artinya hakikatnya lelaki lebih bersabar dibandingkan perempuan, meskipun tidak semua lelaki seperti itu, namun terkadang adapula perempuan yang mempunyai kesabaran melebihi kesabarannya lelaki. Sehingga (ال) pada lafal tersebut adalah untuk mema’rifatkan hakikat yang tidak dipandang dengannya pada keseluruhan individu-individunya jinis tetapi pada hakikatnya jinis.
3)   (ال) Zaidah
Terkadang (ال) ditambahkan sehingga tidak berfaidah ta’rif. Keziadahan (ال) adakalanya tetap (lazim), sehingga lafal yang menyertainya tidak boleh dipisah darinya, seperti keziadahan (ال) dalam alam yang telah menyertai dari asal pembentukan, seperti (اَللَّاتَ), (الْعُزَّى), (السَّمَوْأَلِ) dan (الْيَسَعُ).
Dan seperti keziadahannya dalam isim maushul, seperti (الَّذِي), (الَّتِيْ) dan semisalnya, karena kema’rifatan isim maushul adalah dengan shillah tidak dengan (ال), menurut qaul ashah.
Dan adakalanya keziyadahan (ال) adalah tidak tetap, seperti (ال) ditambahkan pada sebagian alam yang di-nuqil dari lafal asal untuk melihat pada makna yang dikandung oleh lafal asal yang di-nuqil,[5] yaitu seperti (الْفَضْلُ) dan (الحَارِثُ). Dan diperbolehkan untuk membuang (ال) dari ‘alam itu.
Keziadahan (ال) adalah sama’i, sehingga tidak boleh diucapkan (المُحَمَّدُ) atau (المَحْمُودُ). Apa yang telah datang dari orang Arab mengenai penambahan itu, maka tidak boleh diqiyaskan pada yang lainnya. Adakalanya penambahan (ال) adalah dlarurat, seperti masuknya (ال) pada ‘alam yang belum pernah didengar masuknya (ال) itu pada alam tersebut pada saat selain dlarurat,[6] seperti syair,
رَأَيْتُ الْوَلِيْدَ بْنَ الْيَزِيْدِ مُبَارَكاً * شَدِيْداً بِأَعْباَءِ الْخِلاَفَةِ كاَهِلُهُ
Sehingga (ال) dimasukkan pada (يزيد) karena dlarurat syair, dan itu adalah keadaan dlarurat yang buruk.
4)   (ال) Maushulah
Terkadang (ال) menjadi isim maushul dengan satu lafal untuk mufrad, tatsniyyah, jama’, mudzakar dan mu’annats. (ال) itu masuk dalam isim fa’il dan isim maf’ul dengan syarat (ال) itu tidak diinginkan untuk ‘ahdu atau jinsu,[7] seperti (اَكْرِمِ الْمُكْرِمَ ضَيْفَهُ). Jika yang diinginkan adalah untuk ‘ahdu, seperti (اُنْصُرِ الْمَظْلُومَ) “tolonglah orang yang di-dzlimi itu.” Maka (ال) adalah huruf ta’rif bukan isim maushul.
Jika (ال) adalah isim maushul, maka shillah-nya adalah berupa sifat yang ada setelah (ال), karena sifat itu mempunyai kekuatan seperti jumlah, sehingga sifat itu menyerupai jumlah karena menunjukkannya sifat itu pada zaman dan bisa merafa’kan fa’il atau na’ibul fa’ul, baik secara terlihat atau tersimpan,[8] seperti (اَكْرِمِ الْمُكْرِمَ اَبُوهُ ضَيْفَهُ) dan (اَكْرِمِ الْمُكْرِمَ ضَيْفَهُ).
Adapun i’rab, maka terjadi pada (ال), sehingga (ال) itu ber-mahall rafa’, nashab atau jer, dan i’rab itu terlihat pada shillah-nya. Adapun shillah-nya (ال) maka tidak ada i’rab baginya. Sedangkan rafa’, nashab atau jer yang terlihat padanya adalah pengaruh dari mahall-nya (ال) dalam i’rab.
Jika sifat yang menjadi shillah (ال) maushulah mempunyai kekuatan seperti fi’il dan ma’mul marfu’nya, maka dianggap baik meng’athafkan fi’il dan ma’mul marfu’nya kepadanya, seperti (وَ الْعاَدِياَتِ ضَبْحاً فَالْمُورِياَتِ قَدْحاً فَالْمُغِيْراَتِ صُبْحاً فَأَثَرْنَ بِهِ نَقْعاً فَوَسَطْنَ بِهِ جَمْعاً).
Adapun jika sifat yang bebarengan dengan (ال) berupa sifat musyabbahat atau isim tafdlil atau shighat mubalaghah, maka (ال) yang masuk kepada bukanlah (ال) Maushulah, namun huruf ta’rif, karena sifat-sifat itu me-nunjukkan pada makna tetap sehingga tidak menyerupai fi’il dari segi menunjukkannya fi’il pada makna tajaddud (dapat diperbaharui), sehingga sifat-sifat itu tidak sah menjadi shillah-nya (ال).[9]




[1] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 147
[2] Fath Rab al-Bariyyah, hlm. 24
[3] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 148
[4] Fath Rab al-Bariyyah, hlm. 24
[5] Tasywiq al-Khillan, hlm. 174
[6] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 151
[7] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 152
[8] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 152
[9] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 153

No comments:

Post a Comment