Lam ibtida’
bisa masuk di tiga tempat, yaitu: Pertama dalam bab mubtada’, yaitu
didua bentuk, yaitu:[1]
a. Masuk
dalam mubtada’, dan mubtada’ didahulukan atas khabar, dan masuknya lam tersebut
kepada mubtada’ adalah yang asal bagi lam taukid, (لَأَنْتُمْ اَشَدُّ رَهْبَةً فِي صُدُورِهِمْ).
Jika mubtada’ diakhirkan dari khabar, maka dilarang untuk masuknya lam ibtida’
kepada mubtada’, sehingga tidak boleh diucapkan (قَائِمٌ لَزَيْدٌ).
b.
Masuk
pada khabar dengan syarat khabar mendahului mubtada’, seperti (لَمُجْتَهِدٌ اَنْتَ). Jika khabar diakhirkan dari mubtada’,
maka dilarang untuk masuknya lam ibtida’ kepada khabar, sehingga tidak
boleh diucapkan (اَنْتَ لَمُجْتَهِدٌ).
Kedua, dalam bab (إِنَّ) yang dikasrah hamzah. Telah dijelaskan di
atas bahwa lam taukid bisa masuk pada isimnya yang diakhirkan, atau pada
khabarnya yang berupa isim atau fi’il mudlari’ atau fi’il madli yang jamid
atau fi’il madli mutasharrif yang bebarengan (قَدْ) atau jumlah ismiyyah, atau pada
dzaraf dan jer-majrur yang ber-ta’alluq dengan khabarnya yang dibuang
atau pada ma’mul khabarnya.
Ketiga, dalam bab selain kedua bab di atas, yaitu di tiga
masalah,
a. Fi’il muldari’, seperti (لَتَنْهَضُ الْأُمَّةُ مُقْتَفِيةً آثَارَ جُدُودِهاَ).
b. Fi’il madli yang jamid, seperti (لَبِئْسَ ماَ كاَنُوا يَعْمَلُونَ).
c. Fi’il madli mutasharrif yang
bebarengan (قَدْ),
seperti (لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي يُوسُفَ وَ اِخْوَتِهِ آياَتٌ).
Diantara ulama’
(yaitu ulama’ Kuffah) ada yang menjadikan masuknya lam pada fi’il madli, dalam
bab ini, sebagai lam qasam, dan qasam-nya menurut dia adalah
dibuang dan lafal yang bersama lam adalah sebagai jawabnya.
Faidah Lam Ibtida’
Perlu diketahui,
lam taukid mempunyai dua faidah, yaitu:[2]
Pertama, mentaukidi kandungan dari jumlah mutsbat. Oleh
karenanya, dinamakan dengan Lam Taukid. Dan mereka menamainya dengan Lam
Ibtida’ karena asal dari lam itu adalah masuk dalam mubtada’ atau karena
lam itu berada dalam permulaan kalam. Ketika lam itu untuk taukid, maka
ketika (إِنَّ) masuk
kepadanya, maka para ulama menggeser lam itu pada khabar, seperti (إِنَّ رَبِّي
لَسَمِيْعُ الدُّعاَءِ). Demikian itu
karena mereka tidak menyukai berkumpulnya dua taukid dalam permulaan
kalam, yaitu (إِنَّ)
dan lam, yang oleh karenanya lam itu juga dinamakan Lam Muzlahaqah.
Ketika lam itu berfaidah taukid dalam kalam mutsbat, maka dicegah
dari masuknya lam itu pada kalam yang dinafikan secara lafdzi atau makna,
seperti (إِنَّكَ لاَ تَكْذِبُ)
dan (إِنَّكَ لَوِ اجْتَهَدْتَ لَأَكْرَمْتُكَ). Karena (اجْتِهاَد) dan (اكْرَام) dinafikan setelah (لَوِ).
Kedua, memurnikan khabar untuk zaman haal. Oleh karena
itu, fi’il mudlari’ yang jatuh setelah lam taukid murni untuk zaman hadir
yang sebelumnya dia mungkin untuk zaman haal dan istiqbal. Ketika lam
itu untuk mentaukidi khabar dalam zaman haal, maka dilarang jika khabar
itu berasal dari fi’il mudlari atau fi’il madli yang untuk istiqbal,
kecuali jika fi’il madli itu jamid atau mutasharrif yang
bebarengan (قَدْ). Adapun fi’il
jamid, maka karena dia tidak menunjukkan pada perbuatan dan zaman.
Adapun fi’il yang bebarengan (قَدْ),
maka karena (قَدْ)
mendekatkan fi’il madli pada zaman haal.
Tidak ada bedanya
antara fi’il muldari’ yang untuk istiqbal itu didahului perabot yang
memurnikan fi’il itu untuk zaman istiqbal, seperti siin, (سَوْفَ), perabot syarat yang menjazemkan atau
yang lainnya, atau tidak didahului dengannya, dan qarinah-lah yang
menunjukkan pada ke-mustaqbal-an fi’il mudlari’ itu, seperti (إِنَّهُ يَجِيءُ
غَداً). Sebagian ulama’ telah berpendapat bahwa
lam itu tidak memurnikan fi’il mudlari’ untuk zaman haal, tetapi
diperbolehkan jika lam itu masuk pada fi’il itu sedangkan fi’il itu untuk mustaqbal
dengan diberi perabot atau tidak.
[1] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 306-307
[2] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 307
No comments:
Post a Comment