Saturday, April 21, 2018

MASDAR PENGGANTI FI’ILNYA


Masdar yang menggantikan fi’ilnya adalah masdar yang disebutkan sebagai pengganti dari pelafalan fi’ilnya, yaitu ada tujuh macam, yaitu:[1]
a.       Masdar yang menempati tempatnya amar, (صَبْراً عَلَى الْأَذَى فِي الْمَجْدِ).
b.      Masdar yang menempati tempatnya nahi, (اِجْتِهاَداً لاَ كَسَلاً).
c.        Masdar yang menempati tempatnya do’a, (سَقْياً لَكَ وَ رَعْياً).
d.      Masdar yang jatuh setelah istifham yang menempati tempatnya taubikh atau ta’ajjub atau tawajju’, (اَجُرْأَةً عَلَى الْمَعاَصِي), (اَشَوقاً؟ وَ لَماَّ يَمْضِ لِي غَيْرُ لَيْلَةٍ * فَكَيْفَ اِذَا خَبَّ الْمَطِيَّ بِناَ عَشْراً) dan (اَسِجْناً وَ قَتْلاً وَ اشْتِياَقاً وَ غُرْبَةً * وَ نَأْيَ حَبِيْبٍ؟ اِنَّ ذَا لَعَظِيْمُ).
e.       Masdar yang sudah banyak didengar penggunaannya dan ada qarinah-qarinah yang menunjukkannya, sehingga masdar-masdar itu menjadi seperti kalam matsal, seperti (سَمْعاً وَ طاَعَةً).
f.         Masdar yang menjadi pen-tafshil bagi sesuatu yang masih global sebelumnya, dan menjadi penjelas bagi akibatnya, seperti (فَشُدُوا الْوَثَاقَ فَإِماَّ مَناًّ بَعْدُ وَ اِماَّ فِداَءً).
g.      Masdar yang mentaukidi pada kandungannya jumlah sebelumnya, baik masdar itu didatangkan murni untuk taukid, seperti (لَكَ عَلَيَّ الْوَفَاءُ بِالْعَهْدِ حَقاًّ), atau untuk mentaukidi perkara yang menolak keinginan majaz, seperti (هُوَ اَخِي حَقاًّ).
Semua masdar yang menjadi pengganti fi’ilnya harus dibuang amil-nya, seperti yang telah kalian lihat, dan tidak boleh untuk menyebutkan amil-nya, karena masdar itu didatangkan untuk menjadi pengganti dari fi’ilnya.



[1] Fath Ghafir al-Khathiyyah, hlm. 52

HUKUM MAF’UL MUTLAK

Amil Maf’ul Mutlak
Yang bisa mengamalkan maf’ul mutlak adalah salah satu dari ketiga amil ini, yaitu fi’il taam yang mutasharrif, seperti (اَتْقِنْ عَمَلَكَ اِتْقاَناً), sifat yang musytaq darinya, (رَأَيْتُهُ مُسْرِعاً اِسْرَاعاً عَظِيْماً), dan masdarnya fi’il itu, seperti (فَرَحْتُ بِاجْتِهاَدِكَ اجْتِهاَداً حَسَناً).[1]
Hukum Maf’ul Mutlak
Maf’ul mutlak mempunyai tiga hukum, yaitu:[2]
a.       Wajib dibaca nashab.
b.      Wajib jatuh setelah amil, jika untuk taukid.
Namun jika untuk nau’ atau adad, maka diperbolehkan untuk disebutkan setelah atau sebelum amil-nya, kecuali ketika maf’ul mutlak itu berupa istifham atau syarat, maka wajib untuk mendahulukannya atas amil-nya, (ماَ اَكْرَمْتَ خاَلِداً؟) dan (ماَ تَجْلِسْ اَجْلِسْ).
c.        Diperbolehkan untuk membuang amil-nya, jika berupa masdar nau’ atau adad, karena ada qarinah yang menunjukkan kepadanya, seperti (ماَ جَلَسْتَ) kemudian dijawab (بَلَى جُلُوساً طَوِيْلاً اَو جَلْسَتَيْنِ).
Adapun masdar yang untuk taukid, maka amil-nya tidak boleh dibuang, menurut qaul ashah, karena masdar itu didatangkan untuk menguatkan atau mengukuhkan, dan membuang amil-nya dapat menghilangkan maksud itu. Adapun masdar yang didatangkan sebagai pengganti fi’il, maka tidak diperbolehkan menyebutkan amil-nya, tetapi amil-nya wajib dibuang, seperti (حَمْداً وَ شُكْراً لاَ كُفْراً).



[1] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 36
[2] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 37

PENGGANTI MASDAR


Yang bisa menggantikan masdar, sehingga diberi seperti hukumnya masdar, yaitu dibaca nashab menjadi maf’ul mutlak, adalah dua belas perkara, yaitu:[1]
a.       Isim masdar, seperti (اَعْطَيْتُكَ عَطاَءً).
b.      Sifat masdar, seperti (سِرْتُ اَحْسَنَ السَّيْرِ).
c.        Dlamir yang kembali kepada masdar, (اِجْتَهَدْتُ اِجْتِهاَداً لَمْ يَجْتَهِدْهُ غَيْرِي).
d.      Lafal yang muradif (semakna) dengan masdar, yaitu dengan sekiranya bukan dari lafalnya masdar beserta saling berdekatannya makna, seperti (قُمْتُ وُقُوفاً).
e.      Masdar yang bertemu dengannya dalam isytiqaq-nya, seperti (تَبَتَّلْ اِلَيْهِ تَبْتِيْلاً).
f.         Lafal yang menunjukkan pada nau’ atau bentuknya masdar, seperti (جَلَسَ الْإِحْتِباَءَ).
g.      Lafal yang menunjukkan pada ‘adad atau hitungannya masdar, seperti (فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُماَ ثَماَنِيْنَ جَلْدَةً).
h.      Lafal yang menunjukkan pada alatnya masdar, seperti (ضَرَبْتُ اللِّصَّ سَوْطاً).
i.         (ماَ) dan (اَيَّ) istifhamiyyah, (ماَ اَكْرَمْتَ سَعِيْداً؟) dan (اَيَّ عَيْشٍ تَعِيْشُ؟).
j.          (ماَ), (مَهْماَ) dan (اَيَّ) syarthiyyah, (ماَ تَجْلِسْ اَجْلِسْ), (مَهْماَ تَقِفْ اَقِفْ) dan (اَيَّ سَيْرٍ تَسِرْ اَسِرْ).
k.      Lafal (كُلَّ), (بَعْضَ) dan (اَيٌّ) kamaliyyah (yang menunjukkan pada makna sempurna) yang diidlafahkan kepada masdar, seperti (فَلاَ تَمِيْلُوا كُلَّ الْمَيْلِ), (سَعَيْتُ بَعْضَ السَّعْيِ) dan (اجْتَهَدْتُ اَيَّ اجْتِهاَدٍ).
l.         Isim isyarah yang diisyarahkan kepada masdar, baik diikuti dengan masdar, seperti (قُلْتُ ذَلِكَ الْقَولَ), atau tidak, seperti (هَلْ اَجْتَهَدْتَ اجْتِهاَداً حَسَناً) lalu dijawab (اِجْتَهَدْتُ ذَلِكَ).



[1] Fath Ghafir al-Khathiyyah, hlm. 50, Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 34-36

MASDAR LAFDZI DAN MAKNAWI


Masdar terbagi menjadi dua, yaitu Masdar Lafdzi (: masdar yang lafal dan maknanya sama dengan amilnya), seperti (قُمْ قِياَماً), dan Masdar Ma’nawi (: masdar yang sama dengan amil-nya dalam maknanya saja), seperti (قُمْ وُقُوفاً).[1]



[1] Fath Ghafir al-Khathiyyah, hlm. 51

MASDAR MUTASHARRIF DAN GHAIRU MUTASHARRIF


Masdar Mutasharrif adalah masdar yang bisa dibaca nashab menjadi maf’ul mutlak atau berpindah darinya untuk menjadi fa’il atau na’ibul fa’il atau mubtada’ atau khabar atau maf’ul bih atau yang lainnya.[1] Semua masdar adalah mutasharrif kecuali hanya beberapa masdar yang nanti akan disebutkan. Masdar Ghairu Mutasharrif adalah masdar yang menetapi dibaca nashab menjadi maf’ul mutlak dan tidak bisa berpindah menjadi yang lainnya,[2] yaitu (سُبْحاَنَ), (مَعاَذَ), (لَبَّيْكَ), (سَعْدَيْكَ), (حَناَنَيْكَ), (دَوَالَيْكَ) dan (حَذَارَيْكَ).



[1] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 33
[2] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 33

MASDAR MUBHAM DAN MASDAR MUKHTASH


Masdar terbagi menjadi dua, yaitu masdar mubham dan masdar mukhtash. Masdar Mubham adalah masdar yang sama dengan makna fi’ilnya tanpa diberi tambahan atau pengurangan, namun masdar itu disebutkan hanya murni untuk menguatkan atau taukid,[1] seperti (قُمْتُ قِياَماً). Oleh karenanya, tidak diperbolehkan untuk men-tatsniyyah-kan atau menjama’kannya, karena penguat menempati peng-ulangan fi’il, dan pengganti dari fi’ilnya menempati tempatnya fi’il itu sendiri, sehingga dia diberlakukan seperti fi’il dalam hal tidak boleh di-tatsniyyah-kan atau dijama’kan. Masdar Mukhtash adalah masdar yang disebutkan untuk mem-berikan faidah nau’ atau ‘adad-nya fi’il,[2] (ضَرَبْتُ اللِّصَّ ضَرْبَتَيْنِ) dan (سِرْتُ سَيْرَ الْعُقَلاَءِ).
Masdar yang berfaidah ‘adad boleh ditatsniyyah dan dijama’kan dengan tanpa ada khilaf.[3] Sedangkan masdar yang berfaidah nau’, maka yang benar adalah boleh di-tatsniyyahkan dan dijama’kan dengan diqiyaskan pada apa yang telah didengar darinya, seperti (الْعُقُولُ), (الْأَلْباَبُ), (الْحُلُومُ) dan lainnya, sehingga sah jika diucapkan (قُمْتُ قِياَمَيْنِ) dan kita menginginkan pada dua bentuk berdiri.[4]
Masdar bisa menjadi mukhtash dengan (ال) ‘ahdiyyah, seperti (قُمْتُ الْقِياَمَ) yang artinya (الْقِياَمَ الَّذِي تُعْهَدُ), dengan (ال) jinsiyyah, seperti (جَلَسْتُ الْجُلُوسَ) yang kita inginkan adalah jenis dan kenakirahan, dengan mensifatinya, (سَعَيْتُ فِي حاَجَتِكَ سَعْياً عَظِيْماً), dan dengan mengidlafahkannya,[5] seperti (سِرْتُ سَيْرَ الصَّالِحِيْنَ).



[1] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 32
[2] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 33
[3] Fath Ghafir al-Khathiyyah, hlm. 50
[4] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 33
[5] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 33

MAF’UL MUTLAK

Maf’ul Mutlak adalah masdar yang disebutkan setelah fi’il, yang masdar itu dari lafalnya fi’il, sebagai menguat terhadap maknanya fi’il, seperti (كَلَّمَ اللهُ مُوسَى تَكْلِيْماً) “Allah telah berkata kepada Musa dengan perkataan yang sungguh,” atau menjelaskan hitungannya, seperti (وَقَفْتُ وَقْفَتَيْنِ) “aku telah berdiri dengan dua kali berdiri,” atau untuk menjelaskan nau’ atau bentuk dari fi’il, seperti (سِرْتُ سَيْرَ الْعُقَلاَءِ) “aku berjalan dengan model berjalannya orang pintar,” atau sebagai pengganti dari pengucapan fi’il, (صَبْراً عَلَى الشَّدَائِدِ) “bersabar pada bencana.”[1] Perlu diketahui bahwa masdar yang disebutkan sebagai pengganti fi’ilnya adalah tidak untuk taukid, bayanul ‘adad atau nau’.



[1] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 32

Tuesday, April 17, 2018

TANAAZU’


Tanaazu’ adalah dua amil atau lebih yang berada didepan yang dihadapkan kepada satu atau lebih ma’mul yang diakhirkan,[1] seperti (آتُونِي أُفْرِغْ عَلَيْهِ قِطْراً). (آتُوا) adalah fi’il amar yang muta’addi dua maf’ul. Maf’ul pertamanya adalah ya’ dlamir mutakallim. Fi’il itu membutuhkan (قِطْراً) untuk menjadi maf’ul keduanya. (أُفْرِغْ) adalah fi’il mudlari yang muta’addi maf’ul satu dan dia juga membutuhkan (قِطْراً) untuk menjadi maf’ulnya. Jadi, kita bisa melihat bahwa (قِطْراً) telah diperebutkan oleh dua amil yang keduanya membutuhkan dia untuk menjadi maf’ulnya, karena penakdirannya (آتُونِي قِطْراً اُفْرِغْهُ عَلَيْهِ), dan itulah makna dari tanaazu’.
Kita diperbolehkan untuk mengamalkan amil manapun pada isim itu. Jika kita mengamalkan amil yang kedua adalah karena kedekatannya dengan isim itu, dan jika kita mengamalkan amil yang pertama adalah karena dahulunya dia. Jika kita mengamalkan amil yang pertama pada isim dzahir, maka kita amalkan amil yang kedua pada dlamirnya isim dzahir itu, dengan dibaca rafa’ atau lainnya, (قَامَ وَ قَعَدَا اَخَوَاكَ). Dan ketika kita mengamalkan amil yang kedua pada isim dzahir, maka kita amalkan amil yang pertama pada dlamirnya, jika dlamir itu marfu’, seperti (قَاماَ وَ قَعَدَ اَخَوَاكَ), dan jika dlamirnya tidak marfu’, maka kita buang dlamir itu, seperti (اَكْرَمْتُ وَ اَكْرَمَنِي سَعِيْدٌ).
Perlu diketahui bahwa tanaazu’ hanya terjadi diantara dua fi’il yang mutasharrif, seperti (جاَءَنِي وَ اَكْرَمْتُ خاَلِداً), atau dua isim yang menyerupai kedua fi’il, seperti,
عُهِدْتَ مُغِيْثاً مَنْ اَجَرْتَهُ * فَلَمْ اَتَّخِذْ إِلاَّ فِناَءَكَ مَوْئِلاَ
Atau diantara fi’il mutasharrif dan isim yang menyerupai-nya, seperti (هاَؤُوُ اقْرَأُوا كِتاَبِيَهْ). Tanaazu’ tidak bisa terjadi diantara dua kalimah huruf atau diantara kalimah huruf dan yang lainnya atau diantara dua lafal jamid atau diantara lafal jamid dan yang lainnya. Terkadang amil yang kedua disebutkan hanya murni untuk menguatkan, sehingga amil yang kedua tidak bisa beramal, dan yang beramal hanya amil yang pertama, sehingga kalam ketika itu tidak termasuk dalam bab tanaazu’.[2] Seperti syair,
فَهَيْهاَتَ هَيْهاَتَ الْعَقِيْقُ وَ مَنْ بِهِ * وَ هَيْهَاتَ خِلٌّ بِالْعَقِيْقِ نُوَاصِلُهْ



[1] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 23
[2] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 23

ISYTIGHAL


Isytighal adalah mendahulukan isim atas amil yang haknya adalah menashabkan isim itu seandainya amil itu tidak sibuk mengamalkan dlamir yang kembali kepada isim yang didahulukan itu,[1] seperti (خاَلِدٌ اَكْرَمْتُهُ). Ketika kita mengucapkan (خاَلِداً اَكْرَمْتُ), maka (خاَلِداً) adalah maf’ul bihnya (اَكْرَمْتُ). Dan jika kita mengucapkan (خاَلِدٌ اَكْرَمْتُهُ), maka (خاَلِدٌ) haknya adalah menjadi maf’ul bihnya (اَكْرَمْتُهُ) juga, akan tetapi fi’il disini sedang sibuk mengamalkan dlamirnya, yaitu ha’, dan itulah makna dari isytighal. Yang lebih baik adalah membaca rafa’ isim yang berada didepannya amil sebagai mubtada’, seperti yang telah kalian lihat, dan jumlah setelah menjadi khabarnya, dan diperbolehkan juga untuk mem-bacanya nashab, (خاَلِداً اَكْرَمْتُهُ).
Amil yang menashabkan isim itu adalah berupa fi’il yang wajib untuk dikira-kirakan, sehingga tidak diperbolehkan untuk memperlihatkannya. Dan amil yang dibuang itu dikira-kirakan dari lafal yang disebutkan setelahnya, kecuali jika lafal yang disebutkan itu berupa fi’il lazim yang di-muta’addi-kan dengan huruf jer, seperti (الْعاَجِزَ اَخَذْتُ بِيَدِهِ), maka dikira-kirakan dari maknanya. Sehingga, penakdiran lafal yang dibuang adalah (رَأَيْتُ) pada semisal contoh (خاَلِداً اَكْرَمْتُهُ), dan pen-takdirannya adalah (أَعَنْتُ) pada contoh (الْعاَجِزَ اَخَذْتُ بِيَدِهِ).[2]
Terkadang datang kepada isim yang di-isytighal-kan, perkara yang mewajibkan untuk membacanya nashab atau memenangkan dibaca nashab, dan perkara yang mewajibkannya rafa’ atau memenangkannya dibaca rafa’.
Wajib membaca nashab isim itu ketika jatuh setelah perabot tahdlidl, syarat dan istifham dengan selain hamzah, seperti (هَلاَ الْخَيْرَ فَعَلْتَهُ), (إِنْ عَلِياًّ لَقَيْتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ) dan (هَلْ خاَلِداً اَكْرَمْتَهُ؟). Akan tetapi, isytighal setelah perabot istifham dan syarat hanya terjadi pada syair, kecuali jika perabot syaratnya berupa (إِنْ) dan fi’il setelahnya berupa fi’il madli, atau berupa (إِذَا) secara mutlak, seperti (إِذَا عَلِياًّ لَقَيْتَهُ اَو تَلْقاَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ).
Dimenangkan untuk membaca nashab di lima bentuk,[3]
a.       Ketika amar jatuh setelah isim, (خاَلِداً اَكْرِمْهُ) dan (عَلِياًّ لِيُكْرِمْهُ سَعِيْدٌ).
b.      Ketika nahi jatuh setelah isim, (الْكَرِيْمَ لاَ تُهِنْهُ)
c.        Fi’il do’a jatuh setelah isim, (اَللَّهُمَّ اَمْرِي يَسِّرْهُ وَ عَمَلِي لاَ تُعَسِّرْهُ). Namun, terkadang do’a itu datang dengan bentuk kalam khabar, (سَلِيْماً غَفَرَ اللهُ لَهُ وَ خاَلِداً هَدَاهُ اللهُ).
d.      Ketika isim berada setelah hamzah istifham, (اَ بَشَراً مِناَّ وَاحِداً نَتَّبِعُهُ؟).
e.       Isim jatuh menjadi jawabnya perkara yang ditanyakan yang dibaca nashab, (عَلِياًّ اَكْرَمْتُهُ) “Kepada Ali aku memuliakannya,” sebagai jawaban dari pertanyaan (مَنْ اَكْرَمْتَ؟) “Siapa yang kamu muliakan?”
Diwajibkan untuk merafa’kan isim di tiga tempat, yaitu:[4]
a.       Ketika isim jatuh setelah (إِذَا) fuja’iyyah, seperti (خَرَجْتُ فَإِذاً الْجَوُّ يَمْلَؤُهُ الضَّباَبُ). Karena orang Arab tidak akan menyandingkan (إِذَا) kecuali kepada mubtada’, seperti (وَ نَزَعَ يَدَهُ فَإِذاً هِيَ بَيْضَاءُ لِلنَّاظِرِيْنَ), atau khabar, seperti (فَإِذاً لَهُمْ مَكْرٌ فِي آياَتِناَ). Dan jika fi’il setelahnya dibaca nashab, maka dengan menakdirkan fi’il setelahnya, dan (إِذَا) tidak bisa masuk pada kalimah fi’il.
b.      Isim itu jatuh setelah waw haal, (جِئْتُ وَ الْفَرَسُ يَرْكَبُهُ اَخُوكَ).
c.        Isim itu jatuh sebelum perabot istifham atau syarat atau tahdlidl atau (ماَ) nafi, atau lam ibtida’iyyah atau (ماَ) ta’ajjubiyyah atau (كَمْ) khabariyyah atau (إِنَّ) dan sesamanya, (زُهَيْرٌ هَلْ اَكْرَمْتَهُ؟), (سَعِيْدٌ إِنْ لَقَيْتَهُ فَأَكْرِمْهُ), (خَالِدٌ هَلاَّ دَعَوتَهُ), (الشَّرُّ ماَ فَعَلْتُهُ), (الْخَيْرُ لأَناَ اَفْعَلُهُ), (الْخُلُقُ الْحَسَنُ ماَ اَطْيَبَهُ!), (زُهَيْرٌ كَمْ اَكْرَمْتُهُ) dan (اُسَامَةُ إِنِّي اُحِبُّهُ).
Isim itu pada semua keadaannya adalah sebagai mubtada’ dan jumlah yang ada setelahnya adalah khabarnya. Dan tidak diperbolehkan untuk menashabkan isim itu dengan fi’il yang dibuang yang ditafsiri dengan lafal yang disebut setelahnya adalah karena lafal setelah perabot-perabot itu tidak bisa beramal kepada lafal setelahnya, dan lafal yang tidak bisa beramal maka tidak bisa diartikan sebagai amil.
Diunggulkan untuk dibaca rafa’ ketika isim itu bukanlah termasuk kategori lafal yang harus dibaca nashab atau meng-unggulkan nashab atau mewajibkan dibaca rafa’ atau meng-unggulkan rafa’, seperti (خاَلِدٌ اَكْرَمْتُهُ), karena jika ada perputaran diantara menakdirkan dan tidak, maka yang lebih diutama-kan adalah tidak menakdirkan.


[1] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 20
[2] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 21
[3] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 21
[4] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 22