TEMPAT (إِنَّ) WAJIB DIBACA KASRAH

Hamzahnya (إِنَّ) wajib dibaca kasrah, yaitu ketika tidak sah bila lafal setelahnya di-ta’wil dengan masdar, di sebelas tempat:[1]

a.       (إِنَّ) berada dipermulaan kalam, baik secara hakiki, (إِناَّ اَنْزَلْناَهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ), atau hukmi, (اَلاَ إِنَّ اَوْلِيَاءَ اللهِ لاَ خَوفٌ عَلَيْهِمْ وَ لاَ هُمْ يَحْزَنُونَ).

Namun, jika jatuh setelah huruf tanbih, seperti (أَلاَ), atau huruf istiftah, seperti (أَلاَ) dan (اَماَ), atau huruf tahdlidl, seperti (هَلاَّ), atau huruf rad’u, seperti (كَلاَّ), atau huruf jawab, seperti (نَعَمْ) dan (لاَ), maka (إِنَّ) dibaca kasrah hamzahnya, karena (إِنَّ) dihukumi diawal.

b.      (إِنَّ) jatuh setelah (حَيْثُ), (اِجْلِسْ حَيْثُ إِنَّ الْعِلْمَ مَوجُودٌ).

c.        (إِنَّ) jatuh setelah (إِذْ), (جِئْتُكَ إِذْ إِنَّ الشَّمْسَ تَطْلُعُ).

d.      (إِنَّ) menjadi permulaannya jumlah shillah-nya isim maushul, (جَاءَ الَّذِي إِنَّهُ مُجْتَهِدٌ).

e.       Lafal setelah (إِنَّ) menjadi jawabnya qasam, (وَ اللهِ إِنَّ الْعِلْمَ نُورٌ).

f.         (إِنَّ) jatuh setelah lafal (قَالَ) atau yang tertashrif darinya yang tidak mengandung makna dzan, (قاَلَ إِنِّي عَبْدُ اللهِ).

g.      (إِنَّ) dan lafal setelahnya menjadi haal, (جِئْتُ وَ إِنَّ الشَّمْسَ تَغْرُبُ).

h.      (إِنَّ) beserta lafal setelahnya menjadi sifat bagi lafal sebelumnya, (جَاءَ رَجُلٌ إِنَّهُ فَاضِلٌ).

i.         (إِنَّ) menjadi awal jumlah isti’nafiyyah, (يَزْعُمُ فُلاَنٌ أَنِّي اَسَأْتُ اِلَيْهِ إِنَّهُ لَكاَذِبٌ).

j.          Pada khabarnya (إِنَّ) terdapat lam ibtida’, (عَلِمْتُ إِنَّكَ لَمُجْتَهِدٌ).

k.   (إِنَّ) beserta lafal setelahnya menjadi khabarnya isim ‘ain, yaitu isim yang menunjukkan pada dzat atau sesuatu yang berdiri dengan dirinya sendiri, (خَلِيْلٌ اِنَّهُ كَرِيْمٌ).

---

[1] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 314-315