Tuesday, April 10, 2018

MERINGANKAN (إِنَّ), (أَنَّ), (كَأَنَّ) DAN (لَكِنَّ)


Diperbolehkan untuk meringankan (إِنَّ), (أَنَّ), (كَأَنَّ) dan (لَكِنَّ) dengan membuang nun yang kedua, sehingga diucapkan (إِنْ), (أَنْ), (كَأَنْ) dan (لَكِنْ).
a.   Meringankan (إِنَّ) yang Dikasrah[1]
Jika (إِنَّ) diringankan, maka dia wajib muhmal, jika yang menyandinginya adalah fi’il, seperti (وَ إِنْ نَظُنُّكَ لَمِنَ الْكاَذِبِيْنَ). Dan jika yang menyandinginya adalah isim, maka yang banyak dan biasanya adalah memuhmalkannya, seperti (إِنْ اَنْتَ لَصَادِقٌ), dan qalil hukumnya mengamalkannya, seperti (إِنْ زَيْداً مُنْطَلِقٌ). Ketika (إِنَّ) diringankan dan dimuhmalkan, maka wajib adanya lam yang difathah, seperti (إِنْ سَعِيْدٌ لَمُجْتَهِدٌ) untuk membedakan antara (إِنَّ) yang diringankan dengan (إِنْ) nafi, supaya tidak terjadi kesamaran. Lam tersebut dinamakan Lam Fariqah. Ketika diamankan dari keserupaan, maka diperbolehkan untuk meninggalkan lam,
أَناَ ابْنُ أُباَةِ الضَّيْمِ مِنْ آلِ ماَلِكٍ * وَ إِنْ ماَلِكٌ كاَنَتْ كِرَامَ الْمَعاَدِنِ
Karena disini adalah maqam pujian, sehingga dilarang jika adanya (إِنْ) tersebut untuk nafi. Jika tidak, maka maqam pujian akan berubah menjadi maqam hinaan. Ketika (إِنَّ) diringankan, maka tidak ada fi’il yang menyandinginya kecuali fi’il yang bisa merusak hukumnya mubtada’ dan khabar (: fi’il nasikh), yaitu (كاَنَ) dan sesamanya, (كاَدَ) dan sesamanya dan (ظَنَّ) dan sesamanya. Ketika itu, maka lam fariqah masuk pada juz yang menjadi khabar. Kebanyakan fi’il nasikh yang menyandinginya adalah berupa madli, (وَ إِنْ كاَنَتْ لَكَبِيْرَةً إِلاَّ عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللهُ), namun terkadang berupa fi’il mudlari’, (وَ إِنْ نَظُنُّكَ لَمِنَ الْكاَذِبِيْنَ). Masuknya (إِنْ) yang merupakan peringanan pada selain fi’il nasikh adalah syadz dan langka, sehingga apa yang datang darinya tidak boleh diqiyaskan, (إِنْ يَزِيْنُكَ لَنَفْسُكِ وَ إِنْ يُشِيْنُكَ لَهِيَهْ).
b.   Meringankan (أَنَّ) Yang Difathah[2]
Ketika (أَنَّ) diringankan, maka menurut mazhabnya Sibaweh dan para ulama Kuffah adalah dia muhmal tidak bisa beramal, tidak pada isim dzahir dan tidak pula pada isim dlamir, sehingga dia adalah huruf masdariyyah yang hukumnya seperti huruf masdariyyah lainnya. Sehingga dia bisa masuk pada jumlah ismiyyah dan fi’liyyah. Pendapat itu adalah yang benar dan tidak ada takalluf didalamnya. Adapun syair,
فَلَو أَنْكِ فِي يَومِ الرِّخاَءِ سَأَلْتَنِي * كَلاَقَكِ لَمْ أَبْخَلْ وَ اَنْتِ صَدِيْقُ
Adalah dlarurat syair yang tidak boleh diqiyaskan.
Perlu diketahui bahwa (أَنَّ) yang diringankan, jika di-ahului fi’il, maka fi’il itu harus berupa fi’il yang menunjukkan makna yakin atau yang menempati tempatnya, yaitu dari semua fi’il qalbi yang diinginkan dengannya adalah sangkaan yang dimenangkan terjadinya (dzan rajih), seperti (عَلِمَ أَنْ سَيَكُونُ مِنْكُمْ مَرْضَى) dan (وَ ظَنُّوا أَنْ لاَ مَلْجَأَ مِنَ اللهِ إِلاَّ اِلَيْهِ).
Ketika (أَنْ) yang disukun jatuh setelah fi’il yang berfaidah ilmu dan yakin, maka wajib adanya dia merupakan peringanan dari (أَنَّ), dan fi’il mudlari’nya dibaca rafa’, seperti yang telah kalian lihat. Dan tidak boleh adanya (أَنْ) adalah yang menashabkan fi’il mudlari.
Jika jatuh setelah fi’il yang menunjukkan pada dzan rajih, maka diperbolehkan adanya dia adalah peringanan dari (أَنَّ) sehingga fi’il mudlari’ setelahnya dibaca rafa’, dan boleh juga jika dia adalah yang menashabkan fi’il mudlari’, sehingga fi’il mudlari’ setelahnya dibaca nashab, seperti (وَ حَسَبُوا أَنْ لاَ تَكُونَ فِتْنَةً) dengan dibaca nashab atau rafa’.
(أَن) yang merupakan peringanan tidak boleh masuk kecuali pada jumlah, menurut orang yang memuhmalkannya dan yang mengamalkannya dalam dlamir yang tersimpan, kecuali apa yang syadz yaitu dari masuknya dia pada dlamir bariz dalam syair karena dlarurat. Jumlah setelahnya adakalanya berupa jumlah ismiyyah atau jumlah fi’liyyah.
Jika berupa jumlah ismiyyah atau jumlah fi’liyyah yang fi’il berupa fi’il jamid, maka dia tidak membutuhkan pada pemisah diantara jumlah itu dan (أَنْ). Yang berupa jumlah ismiyyah seperti (وَ آخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعاَلَمِيْنَ), dan yang jumlah fi’liyyah yang fi’ilnya berupa fi’il jamid, (وَ أَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلاَّ ماَ سَعَى).
Dan jika jumlah setelahnya berupa jumlah fi’liyyah dan fi’ilnya berupa fi’il mutasharrif, maka yang lebih baik adalah diantara fi’il dan (أَنْ) dipisah dengan salah satu dari lima perkara,[3]
1)      (قَدْ), seperti (وَ نَعْلَمَ أَنْ قَدْ صَدَقْتَناَ).
2)      Huruf tanfis, yaitu siin dan (سَوفَ), (عَلِمَ أَنْ سَيْكُونُ مِنْكُمْ مَرْضَى),
وَ اعْلَمْ فَعِلْمُ الْمَرْءِ يَنْفَعُهُ * أَنْ سَوْفَ يَأْتِي كُلُّ ماَ قُدِراَ
3)      Nafi dengan (لَنْ) atau (لَمْ) atau (لاَ), (اَيَحْسَبُ الْإَنْسَانُ أَنْ لَنْ نَجْمَعَ عِظاَمَهُ), (اَيَحْسَبُ أَنْ لَمْ يَرَهُ اَحَدٌ) dan (اَفَلاَ يَرَوْنَ أَنْ لاَ يَرْجِعَ اِلَيْهِمْ قَوْلاً).
4)      Perabot syarat, seperti (وَ قَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتاَبِ أَنْ اِذَا سَمِعْتُمْ آياَتِ اللهِ يُكفَرُ بِهاَ وَ يُسْتَهْزَأُ بِهاَ فَلاَ تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيْثٍ غَيْرِهِ).
5)      (رُبَّ), seperti syair,
تَيَقَّنْتُ أَنْ رُبَّ امِرِيءٍ خِيْلَ خَائِناً * اَمِيْنٌ وَ خَوَّانٍ يُخاَلُ اَمِيْناً
Guna pendatangan pemisah itu adalah untuk menjelaskan kalau (أَنْ) tersebut adalah peringanan dari (أَنَّ) bukan (أَنْ) yang bisa menashabkan fi’il mudlari’. Dan diperbolehkan jika tidak memisahnya diantara fi’il dan (أَنْ) dengan pemisah, jika fi’il itu menunjukkan pada ilmu yang bersifat yakin, seperti syair,
عَلِمُوا أَنْ يُؤَمَّلُونَ فَجاَدُوا * قَبْلَ اَنْ يُسْأَلُوا بِأَعْظَمِ سُؤْلِ
c.   Meringankan (كَأَنَّ)[4]
Ketika (كَأَنَّ) diringankan, maka yang benar adalah dia dimuhmalkan tidak ada amal baginya, seperti yang diutarakan oleh para ulama’ Kuffah. Disemua keadaan, diwajibkan adanya lafal setelahnya berupa jumlah. Jika berupa jumlah ismiyyah, maka dia tidak membutuhkan pemisah antara jumlah itu dengan (كَأَنْ),
وَ صَدْرٍ مُشْرِقِ اللَّوْنِ * كَأَنْ ثَدْياَهُ حُقَّانِ
Dan jika berupa jumlah fi’liyyah, maka diwajibkan untuk membarengkannya dengan salah satu dari dua huruf dibawah ini,
1)    (قَدْ), seperti syair,
لاَ يَهُولَنَّكَ اصْطِلاَءُ لَظَى الْحَرْ * بِ فَمَحْذُورُهاَ كَأَنْ قَدْ اَلَماَ
2)    (لَمْ), (كَأَنْ لَمْ تَغْنَ بِالْأَمْسِ). Diantara keduanya diberi pemisah adalah untuk membedakannya dari (أَنْ) masdariyyah yang kemasukan kaf tasybih.
d.   Meringankan (لَكِنَّ)[5]
Ketika (لَكِنَّ) diringankan, maka dia wajib dimuhmalkan, menurut kesepakatan ulama’, dan dia bisa masuk pada jumlah ismiyyah dan jumlah fi’liyyah, seperti (جَاءَ خاَلِدٌ لَكِنْ سَعِيْدٌ مُسَافِرٌ) dan (سَافَرَ عَلِيٌّ لَكِنْ جَاءَ خَلِيْلٌ), kecuali imam Akhfasy dan Yusuf yang memperbolehkannya beramal.


[1] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 321
[2] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 322
[3] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 325
[4] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 327
[5] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 328

No comments:

Post a Comment