Sunday, April 8, 2018

FI’IL MUDLARI’ YANG MAJZUM


Fi’il Mudlari’ dibaca jazem ketika didahului oleh salah satu dari ‘amil jawazim. ‘Amil tersebut dibagi menjadi dua, yaitu amil yang menjazemkan fi’il satu, seperti (لاَ تَيْأَسْ مِنْ رَحْمَةِ اللهِ), dan amil yang menjazemkan dua fi’il, seperti (مَهْماَ تَفْعَلْ تُسْأَلْ عَنْهُ). Penjazeman fi’il mudlari’ itu adakalanya bersifat lafdzi, jika fi’il tersebut mu’rab seperti pada contoh di atas, atau mahalli, seperti berupa fi’il mabni, (لاَ تَشْتَغِلَنَّ بِغَيْرِ النَّافِعِ).[1]
a.   Amil yang Menjazemkan Satu Fi’il
Amil yang menjazemkan satu fi’il ada empat huruf, yaitu (لَمْ), (لَماَّ), lam amar dan (لاَ) nahi. (لَمْ) dan (لَماَّ) dinamakan huruf nafi, jazim dan qalab, karena keduanya menafikan fi’il mudlari, menjazemkan dan merubah zamannya dari zaman haal atau istiqbal menjadi zaman madli. Jika kita mengucapkan (لَمْ اَكْتُبْ) atau (لَماَّ اَكْتُبْ), maka maknanya sebelumnya kita belum pernah menulis.
Perbedaan (لَمْ) dan (لَماَّ) terdapat dalam empat wajah,[2]
1)   (لَمْ) untuk nafyil mutlak, sehingga tidak diwajibkan untuk terus menerusnya nafinya lafal yang kemasukan (لَمْ) sampai zaman haal, tetapi boleh jika terus sampai zaman haal, seperti (لَمْ يَلِدْ وَ لَمْ يُولَدْ). Oleh karenanya, diperbolehkan diucapkan (لَمْ اَفْعَلْ ثُمَّ فَعَلْتُ).
Adapun (لَماَّ), maka dia untuk nafyil mustaghriq atau menghabiskan semua bagian zamannya madli hingga zaman haal. Oleh karenanya, tidak diperbolehkan diucapkan (لَماَّ اَفْعَلْ ثُمَّ فَعَلْتُ), karena makna (لَماَّ اَفْعَلْ) adalah kita belum pernah melakukannya hingga sekarang, dan perkataan kita (ثُمَّ فَعَلْتُ) menentangnya. Oleh karenanya, (لَماَّ) dinamakan dengan huruf Istighraq.
2)   Perkara yang dinafikan dengan (لَمْ) tidak bisa diharapkan terjadinya, sedangkan yang dinafikan dengan (لَماَّ) bisa diharapkan terjadinya. Sehingga ketika kita mengucapkan (لَماَّ اُسَافِرْ), maka bepergian kita adalah yang dinanti.
3)   Diperbolehkan jatuhnya (لَمْ) setelah perabot syarat, seperti (اِنْ لَمْ تَجْتَهِدْ تَنْدَمْ), sedangkan (لَماَّ) tidak diperbolehkan jatuh setelah perabot syarat.
4)   Diperbolehkan membuang lafal yang dijazemkan (لَماَّ), seperti (قَارَبَتِ الْمَدِيْنَةُ وَ لَماَّ) artinya (وَ لَماَّ اَدْخُلْهاَ). Dan itu tidak diperbolehkan dalam lafal yang dijazemkan (لَمْ) kecuali dalam keadaan dlarurat, seperti syair,
اِحْفَظْ وَدِيْعَتَكَ الَّتِي اسْتُودَعْتَهاَ  *  يَومَ الْأَعَازِبِ اِنْ وَصَلْتَ وَ اِنْ لَمْ
Lam Amar digunakan untuk meminta dilakukannya suatu perbuatan, seperti (لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ). Lam amar diharakati kasrah, kecuali ketika jatuh setelah waw dan fa’, maka kebanyakan membacanya sukun, seperti (فَلْيَسْتَجِيْبُوا لِيْ وَ لْيُؤْمِنُوا بِيْ). Lam amar bisa masuk pada fi’il ghaib, baik mabni maklum atau mabni majhul, fi’il mukhathab dan fi’il mutakallim yang keduanya mabni majhul.[3]
(لاَ) Nahi digunakan untuk permintaan meninggalkan suatu perbuatan, seperti (لاَ تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً اِلَى عُنُقِكَ وَ لاَ تَبْسُطْهُماَ فَتَقْعُدَ مَلُوماً مَحْسُوراً). (لاَ) nahi bisa masuk pada fi’il ghaib dan mukhathab, baik mabni maklum atau mabni majhul, dan juga pada fi’il mutakallim yang mabni majhul.[4] Dan qalil hukumnya lam amar dan (لاَ) yang masuk pada fi’il mutakallim mufrad yang mabni maklum, namun jika mutkallim bersama yang lainnya, maka masuknya kedua huruf tersebut adalah lebih mudah, seperti (وَ لْنَحْمِلْ خَطَايَاكُمْ).
Perlu diketahui, bahwa perintah melakukan sesuatu atau meninggalkannya, jika dari orang yang derajatnya lebih rendah kepada yang lebih tinggi, maka dinamakan Do’a, sebagai tanda kesopanan, dan lam atau (لاَ) tersebut dinamakan huruf do’a, seperti (لِيَقْضِ عَلَيْكَ رَبُّكَ) dan (لاَ تُؤَاخِذْناَ بِماَ فَعَلَ السُّفَهَاءُ مِناَّ). Begitu juga amar bil sighat dinamakan fi’il do’a, (رَبِّ اغْفِرْ لِي).[5]  
b.   Amil yang Menjazemkan Dua Fi’il
‘Amil jawazim yang bisa menjazemkan dua fi’il, yang satu menjadi syarat dan yang lainnya menjadi jawab, ada tiga belas,[6]
1)   (اِنْ), yang merupakan dalam bab ini, karena amil lainnya yang bisa menjazemkan dua fi’il adalah karena amil tersebut menyimpan maknanya (اِنْ), seperti (اِنْ تُبْدُوا مَا فِي اَنْفُسِكُمْ اَو تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللهُ).
2)   (اِذْ ماَ), yaitu huruf dengan makna (اِنْ), seperti,
وَ اِنَّكَ اِذْ ماَ تَأْتِ ماَ اَنْتَ آمِرُ  *  بِهِ تُلْفِ مَنْ اِيَّاهُ تَأْمُرُ آتِياَ
 Perabot jawazim selain ini adalah berupa isim yang menyimpan maknanya (اِنْ), lalu isim-isim itu dimabnikan dan menjazemkan dua fi’il. Dan mengamalkan perabot ini adalah qalil dan yang paling banyak adalah tidak mengamalkannya dan kedua fi’il setelahnya dibaca rafa’, bahkan, ada sebagian ulama’ yang mengatakan kalau (اِذْ ماَ) tidak bisa beramal menjazemkan kecuali dalam dlarurat syair.
Asal dari (اِذْ ماَ) adalah (ذَا) dzarfiyyah yang bertemu dengan (ماَ) zaidah untuk taukid, kemudian lafal tersebut menanggung maknanya (اِنْ) sehingga menjadi huruf seperti (اِنْ), karena tidak ada makna baginya kecuali menghubungkan jawab dengan syarat, berbeda dengan perabot jawazim yang lainnya karena perobot-perabot tersebut mempunyai makna yang lain selain makna penghubung jawab dengan syarat.
3)   (مَنْ), isim mubham untuk yang berakal, (مَنْ يَفْعَلْ سُوءاً يُجْزَ بِهِ).
4)   (ماَ), isim mubham untuk selain yang berakal, seperti (وَ ماَ تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللهُ).
5)   (مَهْماَ), isim mubham untuk selain yang berakal, seperti (وَ قَالُوا مَهْماَ تَأْتِناَ مِنْ آيَةٍ لتَسْحَرَناَ بِهاَ فَماَ نَحْنُ لَكَ بِمُؤْمِنِيْنَ).
Menurut qaul shahih bahwa (مَهْماَ) tersusun dari (مَهْ) yang merupakan isim fi’il amar untuk mencegah dengan makna (اُكْفُفْ) dan (ماَ) yang menyimpan makna syarat. Kemudian keduanya dijadikan sebagai satu kalimah untuk syarat dan jaza’, dan sebagai penunjuknya adalah kebanyakan lafal itu digunakan dalam maqam pelarangan.
Dan adakalanya lafal itu tersusun dari (ماَ) syarthiyyah dan (ماَ) zaidah untuk taukid yang ditambahkan seperti dalam perobot jawazim lainnya kemudian para ulama’ tidak menyukai jika diucapkan (مَا مَا) lalu mereka mengganti alif yang pertama menjadi ha’ supaya kedua lafal itu berbeda.
6)   (مَتَى), yaitu isim zaman yang menyimpan makna syarat,
مَتَى تَأْتِهِ تَعْشُو اِلَى ضَوءِ نَارِهِ  *  تَجِدْ خَيْرَ نَارٍ عِنْدَهاَ خَيْرُ مَوقِدِ
7)   (اَياَّنَ), yaitu isim zaman yang mengandung makna syarat,
اَياَّنَ تُؤْمِنْكَ تَأْمَنْ غَيْرناَ وَ اِذَا  *  لَمْ تُدْرِكِ الْأَمْنَ مِناَ لَمْ تَزَلْ حَذِرَا
 Asalnya adalah (اَيٌّ آنَ) yang tersusun dari (اَيٌّ) yang menyimpan makna syarat dan (آنَ) dengan makna (حِيْنَ). Kemudian, keduanya setelah disusun menjadi satu isim digunakan untuk syarat dalam zaman mustaqbal dan dimabnikan fath.
8)   (اَيْنَ), yaitu isim makan yang menyimpan maknanya syarat, seperti, (اَيْنَ تَنْزِلْ اَنْزِلْ). Kebanyakan lafal itu di-masuki (ماَ) zaidah untuk taukid, (اَيْنَماَ تَكُونُ يُدْرِكُكُمُ الْمَوتُ).
9)   (اَنَّى), yang tidak boleh kemasukan (ماَ), yaitu isim makan yang menyimpan makna syarat, seperti,
خَلِيْلِي اَنَّى تَأْتِيَانِيَ تَأْتِياَ  *  اَخاً غَيْرَ ماَ يُرْضِيْكُماَ لاَ يُحَاوِلُ
10)       (حَيْثُماَ), yaitu isim makan yang menyimpan makna syarat dan tidak bisa menjazemkan kecuali ketika bebarengan dengan (ماَ), menurut qaul yang shahih, seperti,
حَيْثُماَ تَسْتَقِمْ يُقَدِّرْ لَكَ اللهُ  *  نَجَاحاً فِي غَابِرِ الْأَزْمَانِ
11)       (كَيْفَماَ), yaitu isim mubham yang menyimpan makna syarat, baik bebarengan dengan (ماَ), seperti (كَيْفَماَ تَكُنْ يَكُنْ قَرِيْنُكَ), atau tidak bebarengan dengan (ماَ), seperti (كَيْفَ تَجْلِسْ اَجْلِسْ).
12)       (اَيٌّ), yaitu isim mubham yang menyimpan makna syarat.
Lafal itu merupakan perabot jawazim yang mu’rab dengan ketiga harakat, karena menetapinya lafal itu untuk diidlafahkan kepada mufrad yang menyebabkan dia menjauh dari diserupakan kepada kalimah huruf yang menyebabkan kalimah isim dimabnikan. Contohnya rafa’, (اَيُّ امْرِىءٍ يَخْدِمْ اُمَّتَهُ تَخْدمْهُ), yang dibaca nashab (اَياًّ ماَ تَدْعُو فَلَهُ الْأَسْماَءُ الْحُسْنَى) dan dibaca jer (بِأَيِّ قَلَمٍ تَكْتُبْ اَكْتُبْ وَ كِتَابَ اَيٍّ تَقْرَأْ اَقْرَأْ).
 (اَيٌّ) harus diidlafahkan pada isim mufrad. Terkadang mudlaf ilaih dibuang lalu didatangkan tanwin sebagai penggantinya, seperti (بِأَيِّ قَلَمٍ تَكْتُبْ اَكْتُبْ وَ كِتَابَ اَيٍّ تَقْرَأْ اَقْرَأْ).
13)       (اِذَا), dan terkadang diberi (ماَ) zaidah untuk taukid, sehingga diucapkan (اِذَا ماَ), yaitu isim zaman yang menyimpan makna syarat, dan lafal itu tidak bisa menjazemkan kecuali dalam syair saja, seperti
اِسْتَغْنِ مَا اَغْناَكَ رَبُّكَ بِالْغِنَى  *  وَ اِذَا تُصِبْكَ خَصَاصَةٌ فَتَجَمَّلِ
Namun, terkadang (اِذَا) bisa menjazemkan dalam kalam natsar tetapi dihukumi qalil, (اِذَا اَخَذْتُماَ مَضَاجِعَكُماَ تُكَبِّراَ اَرْبَعاً وَ ثَلاَثِيْنَ).
Perbedaan (اِنْ) dan (اِذَا)
Perbedaan antara (اِنْ) dan (اِذَا) adalah (اِنْ) masuk pada sesuatu yang diragukan kejadiannya, sedangkan (اِذَا) masuk pada sesuatu yang pasti nyata kejadiannya. Jadi, ketika diucapkan, (اِنْ جِئْتَ اَكْرَمْتُكَ), maka kita ragu kedatangan mukhathab. Tetapi jika kita mengucapkan (اِذَا جِئْتَ اَكْرَمْتُكَ), maka kita yakin pada kedatangan mukhathab.[7]


[1] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz II hlm. 183
[2] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz II hlm. 184
[3] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz II hlm. 185
[4] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz II hlm. 185
[5] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz II hlm. 186
[6] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz II hlm. 186-191
[7] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz II hlm. 190

No comments:

Post a Comment