Monday, April 9, 2018

KEKHUSUSAN (كَانَ)


(كَانَ) mempunyai kekhususan tersendiri diantara perabot yang lainnya dengan enam perkara, yaitu:
a.     Bisa dijadikan zaidah dengan dua syarat,
1)    Dia menggunakan lafal madli, (ماَ (كاَنَ) اَصَحَّ عِلْمَ مَنْ تَقَدَّمَ؟).
Dan syadz, menambahkan (كَانَ) dengan menggunakan lafal mudlari’, seperti dalam syair,
اَنْتَ (تَكُونُ) ماَجِدٌ نَبِيْلٌ * اِذَا تَهِبُّ شَمْأَلُ بَلِيْلُ
2)    Penambahan itu berada diantara dua perkara yang saling membutuhkan dan tidak berupa jer-majrur. Dan syadz menambahkan (كَانَ) diantara jer-majrur, seperti,
جِياَدُ بَنِي أَبِي بَكْرٍ تَساَمَى * عَلَى كاَنَ الْمُسَوَّمَةِ الْعِراَبِ
Kebanyakan (كَانَ) ditambahkan diantara (ماَ) dan fi’il ta’ajjub, (ماَ (كاَنَ) اَعْدَلَ عُمَرَ!), atau diantara (نِعْمَ) dan fa’ilnya,
وَ لَبِسْتُ سِرْباَلَ الشَّباَبِ اَزُورُهاَ * وَ لَنِعْمَ (كاَنَ) شَبِيْبَةُ الْمُحْتاَلِ
Diantara fi’il dan na’ibul fa’il, seperti (وَلَدَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ الْخُرْشُبِ الْكَلِمَةَ مِنْ بَنِي عَبْسٍ لَمْ يُوجَدْ (كَانَ) مِثْلُهُمْ) dan diantara sifat dan maushuf-nya, seperti,
فِي غُرَفِ الْجَنَّةِ الْعُلْياَ الَّتِي وَجَبَتْ * لَهُمْ هُناَكَ بِسَعْيِ (كَانَ) مَشْكُورِ
Perlu diketahui bahwa (كَانَ) yang zaidah maknanya adalah taukid yang dia menunjukkan pada zaman madli atau yang telah lalu. Dan tidaklah diinginkan dengan menamainya zaidah bahwa (كَانَ) tersebut tidak menunjukkan pada makna dan zaman, tetapi yang diinginkan adalah kalau (كَانَ) tersebut tidak bisa beramal sama sekali dan tidak mengandung dlamir, tetapi dia menggunakan lafal mufrad mudzakar untuk semua keadaan.
b.    Isimnya (كَانَ) boleh dibuang dan menyisakan khabarnya. Kebanyakan itu terjadi ketika jatuh setelah (إِنْ) dan (لَو) syarthiyyah, seperti (النَّاسُ مَجْزِيُونَ بِأَعْماَلِهِمْ إِنْ خَيْراً فَخَيْرٌ وَ إِنْ شَراًّ فَشَرٌّ) dan (اِلْتَمِسْ وَ لَو خاَتَماً مِنْ حَدِيْدٍ).
c.     Terkadang (كَانَ) saja dibuang dan masih menyisakan isim dan khabarnya, dan sebagai gantinya adalah (ماَ) zaidah. Demikian itu terjadi ketika jatuh setelah (أَنْ) masdariyyah, seperti (أَماَّ اَنْتَ ذَا ماَلٍ تَفْتَخِرُ!) yang asalnya adalah (لِأَنْ كُنْتَ ذَا ماَلٍ تَفْتَخْرُ).
d.    Terkadang (كَانَ), isim dan khabarnya dibuang, dan sebagai penggantinya adalah (ماَ) zaidah. Demikian itu terjadi ketika jatuh setelah (إِنْ) syarthiyyah, seperti (اِفْعَلْ هَذَا إِماَّ لاَ) yang asalnya adalah (اِفْعَلْ هَذَا اِنْ كُنْتَ لاَ تَفْعَلْ غَيْرَهُ).
e.     Diperbolehkan membuang nun mudlari’nya (كَانَ) dengan syarat dia dijaezmkan dengan sukun dan setelahnya tidak berupa sukun dan tidak berupa dlamir muttashil, seperti (لَمْ اَكُ بَغِياًّ).
f.      Terkadang (كَانَ), isimnya dan khabarnya dibuang tanpa ada penggantinya, seperti (لاَ تُعاَشِرْ فُلاَناً فَإِنَّهُ فَاسِدُ الْأَخْلاَقِ) kemudian orang orang menyahutinya (اِنِّي اُعاَشِرُهُ وَ إِنْ) artinya (وَ اِنْ كاَنَ فَاسِدَهاَ).

No comments:

Post a Comment