Monday, April 9, 2018

FI’IL NAQISH


Fi’il Naqish adalah fi’il yang masuk pada mubtada’ dan khabar, sehingga fi’il tersebut merafa’kan mubtada’, karena disamakan dengan fa’ilnya, dan menashabkan khabar, karena disamakan dengan maf’ul bih,[1] seperti (كَانَ عُمَرُ عاَدِلاً). Fi’il tersebut dinamakan dengan fi’il naqish karena kalam yang sempurna tidak akan menjadi sempurna bila hanya menyebutkan fi’il tersebut bersama ma’mul marfu’-nya, tetapi haruslah menyebutkan ma’mul manshub-nya supaya kalam menjadi sempurna, sehingga ma’mul manshub-nya fi’il itu bukanlah fudlah tetapi ‘umdah, karena dari segi asalnya ma’mul tersebut adalah khabar yang dibaca nashab karena diserupakan dengan ma’mul fudlah.[2]
Mubtada’ setelah kemasukan fi’il tersebut dinamakan dengan isimnya fi’il tersebut, dan khabarnya mubtada’ menjadi khabarnya khabarnya fi’il tersebut.
Fi’il naqish ada dua macam, yaitu (كَانَ) dan sesamanya, dan (كاَدَ) dan sesamanya, yang disebut Af’alul Muqarabah.
a.    (كَانَ) Dan Sesamanya
Lafal yang menyerupai (كَانَ) dalam pengamalannya terbagi menjadi dua, yaitu:
1)    Lafal yang bisa beramal tanpa harus ada syarat tertentu, yaitu:
a)      (ظَلَّ) yang maknanya bersifatnya musnad ilaih dengan musnad dalam waktu siang hari, seperti (ظَلَّ زَيْدٌ جَالِساً).
b)      (كاَنَ) yang bermakna bersifatnya musnad ialih dengan musnad dalam waktu yang telah lalu, seperti (كاَنَ زَيْدٌ قَائِماً).
c)       (اَضْحَى) yang bermakna bersifatnya musnad ilaih dengan musnad dalam waktu dluha, seperti (اَضْحَى زَيْدٌ قَارِئاً).
d)     (بَاتَ) yang bermakna bersifatnya musnad ilaih dengan musnad dalam waktu malam, seperti (بَاتَ زَيْدٌ نَائِماً).
e)       (اَصْبَحَ) yang bermakna bersifatnya musnad ilaih dengan musnad dalam waktu pagi, seperti (اَصْبَحَ زَيْدٌ مُصَلِّياً).
f)        (اَمْسَ) yang bermakna bersifatnya musnad ilaih dengan musnad pada waktu sore, seperti (اَمْسَى زَيْدٌ مُطاَلِعاً لِدُرُوسِهِ).
g)      (لَيْسَ) yang bermakna menafikan waktu sekarang atau haal, sehingga lafal itu terkhusus dengan menafikan masa sekarang, seperti (لَيْسَ زَيْدٌ قَائِماً). Kecuali jika di-qayyidi dengan sesuatu yang bisa memberikan faidah kepada masa yang telah lewat atau masa yang akan datang, maka lafal itu untuk sesuatu yang dia di-qayyidi dengannya, seperti (لَيْسَ عَلِيٌّ مُسَافِراً اَمْسِ اَو غَداً).
h)      (صَارَ) yang bermakna tahawwul atau menjadi, (صَارَ زَيْدٌ غَنِياًّ). Begitu juga lafal-lafal yang semakna dengannya, yaitu (رَجَعَ), seperti (لاَ تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّاراً), (عاَدَ), (وَ كاَنَ مُضِلِّي مَنْ هُدِيْتَ بِرُشْدِهِ * فَلِلَّهِ مُغْوٍ عَادَ بِالرُّشْدِ آمِراَ), (غَدَا) dan (رَاحَ), (لَرَزَقَكُمْ كَماَ يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو حِماَصاً وَ تَرُوحُ بِطاَناً).
2)    Lafal yang bisa beramal dengan ada syarat tertentu. Pada bagian ini juga terbagi menjadi dua, yaitu:
a)     Lafal yang bisa beramal karena didahului nafi atau yang menyerupainya, (yaitu nahi, dan do’a), yaitu:[3]
(1)   (زَالَ) yang fi’il mudlari’nya (يَزَالُ) bukan (يَزُولُ) atau (يَزِيْلُ) dan tidak mempunyai masdar, yang bermakna tetapnya musnad pada musnad ilaih, sehingga ketika kita meng-ucapkan, (ماَ زَالَ خَلِيْلٌ وَاقِفاً), maka maknanya adalah Khalil selalu menetapi sifat berdiri pada zaman yang telah lalu.
(2)   (فَتِيءَ) yang bermakna tetapnya musnad pada musnad ilaih, seperti (ماَ فَتِيءَ زَيْدٌ ضَاحِكاً).
(3)   (اِنْفَكَّ) yang bermakna tetapnya musnad pada musnad ilaih, seperti (ماَ اِنْفَكَّ زَيْدٌ مُطاَلِعاً).
(4)   (بَرِحَ) yang bermakna tetapnya musnad pada musnad ilaih, seperti (ماَ بَرِحَ زَيْدٌ كاَتِناً).
b)     Lafal yang bisa beramal karena didahului (ماَ) masdariyyah dzarfiyyah, yaitu hanya (دَامَ), seperti (اَعْطِ ماَ دُمْتَ مُصِيْباً دِرْهَماً) dengan di-ta’wil menjadi (مُدَّةَ دَوَامِكَ مُصِيْباً دِرْهَماً).
Dinamakan (ماَ) masdariyyah karena bisa menjadikan lafal setelahnya di-ta’wil masdar dan dinamakan dzarfiyyah karena (ماَ) tersebut menjadi ganti dari dzaraf, yaitu (مُدَّةَ), karena penakdirannya (مُدَّةَ دَوَامِكَ مُصِيْباً دِرْهَماً).
Tambahan:
Terkadang isimnya (كَانَ) dan sesamanya disimpan dan khabarnya dibuang ketika wujud qarinah yang menunjuk-kan kepadanya,[4] seperti (هَلْ اَصْبَحَ الرَّكْبُ مُسَافِراً ؟) lalu dijawab (اَصْبَحَ) dengan penakdiran (اَصْبَحَ هُوَ مُسَافِراً).
b.    (كَادَ) Dan Sesamanya atau Af’alul Muqarabah
(كَادَ) dan sesamanya bisa beramal seperti (كَانَ), yaitu merafa’kan mubtada’, yang kemudian dinamakan isimnya, dan menashabkan khabar, yang dinamakan khabarnya.
Pembagian (كَادَ) dan sesamanya
(كَادَ) dan sesamanya terbagi menjadi tiga, yaitu:[5]
1)      Af’alul Muqarabah, yaitu yang menunjukkan pada dekatnya terjadinya perkara yang dikabarkan, yaitu tiga fi’il (كَادَ), (اَوْشَكَ) dan (كَرَبَ). Kita ucapkan (كَادَ الْمَطَرُ يَهْطِلُ), (اَوْشَكَ الْوَقْتُ اَنْ يَنْتَهِيَ) dan (كَرَبَ الصُّبْحُ اَنْ يَنْبَلِجَ).
2)      Af’alul Raja’, yaitu yang menunjukkan pengharapan terjadinya perkara yang dikabarkan, yaitu ada tiga fi’il (عَسَى), (حَرَى) dan (اخْلَوْلَقَ). Seperti, (عَسَى اللهُ اَنْ يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ), (حَرَى الْمَرِيْضُ اَنْ يَشْفَى) dan (اِخْلَوْلَقَ الْكَسْلاَنُ اَنْ يَجْتَهِدَ).
3)      Af’alul Syuru’, yaitu yang menunjukkan pada kesiapan untuk melakukan perbuatan.
Fi’il yang menunjukkan pada syuru’ sangat banyak, diantaranya (أَنْشَأَ), (عَلِقَ), (طَفِقَ), (أَخَذَ), (هَبَّ), (بَدَأَ), (أِبْتَدَأَ), (جَعَلَ), (قَامَ) dan (اِنْبَرَى). Dan semisalnya adalah fi’il yang menunjukkan pada permulaan perbuatan dan tidak merasa cukup dengan ma’mul marfu’-nya. Kita ucapkan (أَنْشَأَ خَلِيْلٌ يَكْتُبُ), (عَلِقُوا يَنْصَرِفُونَ), (أَخَذُوا يَقْرَؤُونَ), (هَبَّ الْقَومُ يَتَسَابَقُونَ), (بَدَءُوا يَتَباَرَوْنَ), (اِبْتَدَءُوا يَتقَدَّمُونَ), (جَعَلُوا يَسْتَيْقِظُونَ), (قَامُوا يَتَنَبَّهُوْنَ) dan (اِنْبَرَوا يَسْتَرْشِدُونَ).
Kesemua keterangan yang telah lalu tentang fa’il, na’ibul fa’il dan isimnya (كَانَ), dari hukum dan pembagian-nya, juga diberikan pada isimnya (كَادَ) dan sesamanya.
Syarat Khabarnya (كَادَ) dan Sesamanya
Disyaratkan khabarnya (كَادَ) dan sesamanya, tiga syarat yaitu,
1)    Berupa fi’il mudlari’ yang diisnadkan kepada dlamir yang kembali kepada isimnya (كَادَ), baik fi’il mudlari’ itu dibarengi (اَنْ), seperti (اَوْشَكَ النَّهَارُ اَنْ يَنْقَضِيَ), atau dikosong-kan darinya, seperti (كَادَ اللَّيْلُ يَنْقَضِي).
Diperbolehkan setelah (عَسَى) saja untuk diisnadkan kepada isim dzahir yang mengandung dlamir yang kembali kepada isimnya, (عَسَى الْعاَمِلُ اَنْ يَنْجَحَ عَمَلُهُ). Tidak diperbolehkan pada khabar (كَادَ) dan sesamanya berupa jumlah madliyyah atau jumlah ismiyyah, seperti halnya tidak diperbolehkan jika khabarnya berupa isim. Dan apa yang telah datang, maka syadz hukumnya dan tidak boleh diikuti. Adapun firman-Nya (فَطَفِقَ مَسحاً بِالسُّوْقِ وَ الْأَعْناَقِ), maka (مَسحاً) tidaklah khabar, namun maf’ul mutlaknya fi’il yang dibuang dan fi’il itulah yang menjadi khabar, takdirannya (يَمْسَحُ مَسْحاً).
2)    Harus diakhirkan dari (كَادَ) dan sesamanya, dan diperbolehkan adanya khabar yang menjadi penengah antara (كَادَ) atau sesamanya dengan isimnya, (يَكَادُ يَنْقَضِي الْوَقْتُ).
Diperbolehkan membuang khabar jika sudah maklum, seperti (فَطَفِقَ مَسحاً بِالسُّوْقِ وَ الْأَعْناَقِ) dengan ditakdirkan (يَمْسَحُ مَسْحاً).
3)    Disyaratkan dalam khabarnya (حَرَى) dan (اِخْلَوْلَقَ) untuk bebarengan dengan (أَنْ).


[1] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 271
[2] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 271
[3] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 273
[4] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 275
[5] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz II, hlm. 285-286

1 comment:

  1. tidak ada contohnya...untuk nanti ditambahkan contoh yaaa

    ReplyDelete