Lafal
Murakkab adalah qaul yang
tersusun dari dua kalimah atau lebih untuk menunjukkan pada suatu faidah, baik
faidah itu sempurna seperti, النَّجَاةُ فِي الصِّدْقِ (keselamatan ada dalam kejujuran),
atau tidak sempurna, نُورُ الشَّمْسِ (cahaya matahari),الإنْسَانِيَّةُ
الفَاضِلَةُ (manusia
mulia) dan إنْ تُتْقِنْ عَمَلَكَ (seandainya
kau jaga perbuatanmu).
Lafal
murakkab ada enam macam, yaitu: isnadi, idlafi, bayani, ‘athfi,
mazji dan ‘adadi.
a.
Murakkab Isnadi atau Jumlah
Isnad adalah menghukumi sesuatu dengan sesuatu yang lain,
seperti menghukumi Zuhair dengan bersungguh-sungguh pada ucapan kita, (زُهَيْرٌ مُجْتَهِدٌ) (“Zuhair orang yang bersungguh-sungguh”).[1] Dan
mahkum bih (: yang digunakan untuk menghukumi) disebut dengan Musnad,
sedangkan mahkum ‘alaih (: yang dihukumi) disebut dengan Musnad
‘ilaih. Jadi, musnad adalah lafal yang kita gunakan
untuk menghukumi sesuatu, dan musnad ‘ilaih adalah lafal yang
kita hukumi dengan sesuatu. Dan murakkab isnadi (yang juga dinamakan
jumlah) adalah lafal yang tersusun dari musnad dan musnad ‘ilaih,
seperti (الحِلمُ زَيْنٌ)
(bersabar adalah hiasan) dan (يُفْلِحُ المُجْتَهِدُ) (“orang yang bersungguh-sungguh
akan beruntung)
(Lafal
(الحلم) adalah musnad
‘ilaih, karena lafal (زين)
di-isnadkan kepadanya dan dihukumi dengan hiasan. Dan lafal (زين) adalah musnad, karena kita
menyandarkannya kepada bersabar dan kita menghukuminya dengannya. Dan juga kita
telah menyandarkan keberuntungan kepada orang yang bersungguh-sungguh (المجتهد), sehingga (يفلح) adalah musnad dan (المجتهد) adalah musnad ‘ilaih).
Musnad
‘ilaih bisa berupa fa’il, mubtada’,
isimnya fi’il naqish, isimnya kalimah huruf yang beramal dengan amalnya (لَيْسَ), isimnya (إنَّ) dan sesamanya, dan isimnya (لاَ) nafi jinis.[2] Musnad
‘ilaih yang berupa fa’il seperti (جَاءَ الحَقُّ وَ
زَهَقَ الْبَاطِلُ). Yang berupa
na’ibul fa’il seperti (يُعَاقَبُ العَاصُونَ).
Yang berupa mubtada’ seperti (الصَّبْرُ مِفْتَاحُ الفَلاَحِ). Yang berupa isimnya fi’il naqish
seperti (وَ كَانَ اللهُ عَلِيْمًا حَكِيْمًا). Yang berupa isimnya kalimah huruf yang
beramal seperti (ليس)
seperti (مَا زُهَيْرٌ كَسُولاً),
(تَعَزَّ فَلاَ شَيئٌ عَلَى الأرْضِ بَاقِيًا), (لاَتَ سَاعَةَ
مَنْدَمٍ) dan (إنْ اَحَدٌ خَيْرًا
مِنْ اَحدٍ إلاَّ بِالعِلْمِ وَ العَمَلِ الصَّالِحِ).
Yang berupa isimnya (إنَّ)
seperti (إنَّ اللهَ عَلِيْمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ) dan yang berupa isimnya (لاَ) nafi jinis adalah seperti (
لاَ إلهَ إلاَّ الله).[3]
Musnad bisa berupa fi’il, isim fi’il, khabarnya mubtada’,
khabarnya fi’il naqish, khabarnya kalimah huruf yang bisa beramal
seperti (ليس) dan khabarnya
(إنَّ) dan
sesamanya.[4] Musnad
adakalanya berupa fi’il, seperti (قَدْ اَفْلَحَ
المُؤْمِنُونَ), berupa sifat
yang musytaq atau dibuat dari fi’il, seperti (الحَقُّ اَبْلَجُ) dan berupa isim jamid yang mengandung
maknanya sifat musytaq, seperti (الحَقُّ نُورٌ وَ
القَائِمُ بِهِ اَسَدٌ). (Ta’wilannya
الحَقُّ مُضِيئٌ كَالنُّورِ
dan القائم بِهِ شُجَاعٌ كَالأسَدِ. Pembahasan tentang hukumnya musnad
dan musnad ‘ilaih dalam i’rab nanti akan dijelaskan dalam penjelasan
i’rab).
b.
Murakkab Idlafi
Murakkab
idlafi adalah lafal yang tersusun
dari mudlaf dan mudlaf ‘ilaih, seperti (كِتَابُ التِّلْمِيْذِ), (خَاتَمُ فِضَّةٍ) dan (صَومُ النَّهَارِ). Hukum juz kedua dari murakkab idlafi
(: yaitu mudlaf ‘ilaih) adalah selamanya dibaca jer seperti yang telah
kalian lihat.[5]
c.
Murakkab Bayani
Murakkab
bayani adalah semua dua kalimat
yang kalimat keduanya memperjelas pada makna kalimah yang pertama. Murakkab
bayani ada tiga macam, yaitu:[6]
1)
Murakkab
washfi, yaitu murakkab yang
tersusun dari sifat dan maushuf, seperti (فَازَ التِّلْمِيْذُ المُجْتَهِدُ), (اَكْرَمْتُ التِّلْمِيْذَ المُجْتَهِدَ) dan (طَابَتْ اَخْلاَقُ التِّلْمِيْذِ المُجْتَهِدِ).
2)
Murakkab
taukidi, yaitu murakkab yang
tersusun dari mu’akkid dan mu’akkad, seperti (جَاءَ القَومُ كُلُّهُم), (اكْرَمْتُ القَومَ كُلَّهُمْ) dan (اَحْسَنْتُ الَى
القَومِ كُلِّهِمْ).
3)
Murakkab
badali, yaitu murakkab yang
tersusun dari badal dan mubdal minhu, seperti (جَاءَ خَلِيْلٌ اَخُوكَ), (رأيْتُ خَلِيْلاً اَخَاكَ) dan (مَرَرْتُ بِخَلِيْلٍ اَخِيْكَ).
Hukum
juz kedua dari murakkab bayani adalah mengikuti lafal sebelumnya dari
segi i’rab, seperti yang telah kalian lihat pada contoh di atas.
d.
Murakkab ‘Athfi
Murakkab
‘athfi adalah murakkab yang
tersusun dari ma’thuf dan ma’thuf ‘alaih dengan ditengah-tengahi
huruf ‘athaf diantara keduanya, seperti, (يَنَالُ
التِّلْمِيْذُ وَ التِّلْمِيْذَةُ الحَمْدَ وَ الثَّنَاءَ)
dan (ثَابِرًا عَلَى الدَّرْسِ وَ الإجْتِهَادِ).[7]
Hukum lafal setelah huruf ‘athaf adalah mengikuti lafal sebelum huruf ‘athaf
dari segi i’rab, seperti yang telah kalian lihat.
e.
Murakkab Mazji
Murakkab
mazji adalah setiap dua kalimah
yang disusun dan dijadikan menjadi satu kalimah, seperti (بَعْلَبَكَّ), (بَيْتُ لَحْمٍ), (حَضْرَ مَوْت), (سِيْبَوَيْهِ), (صَبَاحَ مَسَاءَ) dan (شَذَرَ مَذَرَ).[8]
Jika lafal yang berupa murakkab mazji adalah sebagai isim alam, maka
lafal itu dii’rabi dengan i’rab isim ghairu munsharif, seperti (بَعْلَبَكُّ بَلْدَةٌ
طَيِّبَةُ الهَوَاءِ), (سَكَنْتُ بَيتَ لَحْمٍ) dan (سَفَرْتُ اِلَى
حَضْرَ مَوْتَ). Kecuali jika
juz keduanya berupa kalimah (وَيْهِ),
maka kalimah itu selamanya dimabnikan kasr, seperti (سِيْبَوَيهِ عَالِمٌ
كَبِيْرٌ), (رَأيْتُ سِيْبَوَيْهِ
عَالِمًا كَبِيْرًا) dan (قَرَأْتُ كِتَابَ
سِيْبَوَيْهِ).[9]
Dan jika tidak berupa isim ‘alam, maka kedua juz dimabnikan fath,
seperti (زُرْنِي صَبَاحَ مَسَاءَ)
dan (اَنْتَ جَارِي بَيْتَ بَيْتَ).
f.
Murakkab ‘Adadi
Murakkab
‘adadi termasuk dalam murakkab
mazji, yaitu setiap dua ‘adad (bilangan) yang diantara keduanya
terdapat huruf ‘athaf yang dikira-kirakan.[10] Murakkab
‘adadi adalah dari hitungan 11 (اَحَدَ عَشَرَ) sampai 19 (تِسْعَةَ عَشَرَ), dan dari hitungan ke-11 (حَادِي عَشَرَ) sampai hitungan ke-19 (تَاسِعَ عَشَرَ). Adapun hitungan 20 (عِشْرُوْنَ) sampai 99 (تِسْعَةٌ وَ
تِسْعُونَ), maka tidak
termasuk murakkab ‘adadi, karena huruf ‘athafnya disebutkan dalam
pelafalan dan lafal itu termasuk dalam murakkab ‘athfi.
Diwajibkan
untuk memfathah kedua juznya murakkab ‘adadi, baik disaat rafa’, seperti
(جَاءَ اَحَدَ عَشَرَ رَجُلاً),
atau nashab, seperti (رَأَيْتُ اَحَدَ عَشَرَ كَوْكَباً), atau dijerkan, seperti (اَحْسَنْتُ اِلَى
اَحَدَ عَشَرَ فَقِيْراً). Sedangkan,
juz keduanya dimabnikan fathah dan tidak ada tempat baginya dari i’rab, sehingga
juz kedua menempati tempatnya nun isim tatsniyyah.
‘Adad
yang berwazan (فَاعِلٌ)
yang tersusun dari hitungan sepuluh (seperti hitungan ke-11 (حَادِي عَشَرَ) sampai ke-19) maka ‘adad itu juga
dimabnikan fath kedua juznya, seperti, (جَاءَ الرَّابِعَ
عَشَرَ), (رَأَيْتُ
الرَّابِعَةَ عَشَرَةَ) dan (مَرَرْتُ
بِالْخَامِسَ عَشَرَ). Kecuali ‘adad
yang juz pertamanya diakhiri dengan ya’, maka juz awal dari ‘adad itu
dimabnikan sukun, seperti, (جَاءَ الْحَادِيْ عَشَرَ وَ الثَّانِيْ
عَشَرَ), (رَأَيْتُ الْحَادِيْ
عَشَرَ وَ الثَّانِيْ عَشَرَ) dan (مَرَرْتُ
بِالْحَادِيْ عَشَرَ وَ الثَّانِيْ عَشَرَ).
[1] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 13
[2] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 13
[3] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 13
[4] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 13
[5] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 15
[6] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 15
[7] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 15
[8] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 16
[9] Syarah Ibnu
‘Aqil, hlm. 20
[10] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 16
No comments:
Post a Comment