Yaitu kalimah (: kata) yang
menunjukkan pada makna dengan dirinya sendiri tanpa membutuhkan lafal yang lain
dan tidak dibarengi dengan zaman secara asal kejadiannya, seperti (زَيْدٌ) nama orang.[1]
Hukum asal kalimah isim adalah mu’rab, kecuali beberapa kalimah isim
yang mabni.[2]
Tanda Kalimah Isim
Kalimah Isim bisa diketahui dengan
salah satu dari empat tanda. Tanda yang pertama adalah sah bila dikhabari,
seperti ta’ pada lafal (كَتَبْتُ),
sehingga sah diucap-kan (اَناَ كَتَبَ),
bisa diberi tanwin, seperti (رَجُلٌ),
atau huruf nida’, seperti (ياَ زَيْدُ),
atau huruf jer, seperti (اِعْتَمِدْ عَلَى مَنْ تَثِقُ بِهِ), dan masuknya (اَلْ), seperti (الرَّجُلُ).
Tanda kalimah isim yang kedua adalah sah bila diberi tanwin. Tanwin adalah nun mati
yang zaidah yang ditaruh diakhir kalimah isim dalam pengucapan, dan
memisah akhir kalimah isim dalam penulisan dan kejadiannya, dan tidak untuk
taukid.[3]
Macam tanwin ada sepuluh, yaitu:
1) Tanwin Tamkin, yaitu tanwin yang masuk pada isim mu’rab yang munsharif
yang selain jama’ mu’annats salim, atau yang juga disebut dengan tanwin sharfi,
seperti, (رَجُلٌ).[4]
2) Tanwin Tankir, yaitu tanwin yang masuk pada isim mabni yang berguna
sebagai pembeda antara bentuk dari isim mabni yang nakirah dan yang ma’rifat,
sehingga isim mabni yang ditanwin adalah nakirah dan yang tidak ditanwin adalah
ma’rifat.[5]
Tanwin tersebut adalah sama’i dalam bab kalimah isim fi’il dan qiyasi
pada isim alam yang diakhiri dengan (وَيْه), seperti (صَه) dan (سِيْبَوَيْهِ).
3) Tanwin Muqabalah, yaitu tanwin yang masuk pada jama’ mu’annats salim
sebagai perbandingan dari nun-nya jama’ mudzakar salim, seperti (مُسْلِمَاتٌ) yang menjadi bandingannya lafal (مُسْلِمُوْنَ).[6]
4) Tanwin ‘Iwadl, yaitu tanwin yang menjadi pengganti dari perkara lain,
yang macamnya ada tiga, yaitu:
a) Pengganti dari jumlah, yaitu tanwin
yang masuk pada kalimah huruf sebagai ganti dari jumlah setelahnya yang
dibuang, seperti (وَ اَنْتُمْ حِيْنَئِذٍ تَنْظُرُوْنَ) yang tanwin pada (إِذٍ) adalah sebagai pengganti dari jumlah (اِذْ بَلَغَتِ
الرُّوْحُ الْحُلْقُوْمَ) yang dibuang
karena untuk memperindah kalam.[7]
b) Pengganti dari isim, yaitu tanwin
yang terkhusus pada lafal (كُلٌّ)
dan (بَعْضٌ) sebagai ganti
dari mudlaf ilaih-nya yang dibuang, seperti (كُلٌّ قَائِمٌ) takdiranya (كُلُّ النَّاشِ
قَائِمٌ).[8]
c) Pengganti dari huruf, yaitu tanwin
yang masuk pada semisal lafal (غَوَاشٍ) dan (جَوَارٍ), yaitu dari isim manqush yang ghairu
munsharif, dalam keadaan rafa’ dan jer.
Asal dari kedua lafal itu adalah (غَوَاشِيُ) dan (جَوَارِيُ), ya’ pada keduanya disukun karena berat
jika menyandang harakat dlammah pada keadaan rafa’ dan kasrah pada keadaan jer.
Kemudian harakat dibuang kemudian ya’ juga ikut dibuang dengan alasan i’tibath
(: tanpa alasan yang pasti atau serampangan), kemudian disitu shighat
muntahal jumu’ menjadi rusak karena setelah alifnya wazan (مَفَاعِلُ) yang tersisa hanya satu huruf saja dan
jika ya’ dikembalikan, maka akan dianggap berat sehingga para ulama
membiarkannya seperti itu dan sebagai tanwinnya mereka mendatangkan tanwin.[9]
Ada yang mengatakan kalau asalnya
adalah (غَوَاشِيٌ)
dan (جَوَارِيٌ)
dengan ditanwin tamkin, lalu dlammah dianggap berat pada ya’ sehingga
dlammah dibuang sehingga menyebabkan berkumpulnya dua huruf mati, yaitu ya’ dan
nun mati dari tanwin, kemudian kita buang ya’ untuk menyelamatkan dari
bertemunya dua huruf yang mati, kemudian huruf sebelum ya’ ditanwin sebagai
ganti dari ya’ yang dibuang. Dan setelah diteliti ternyata yang benar adalah
pendapat pertama yang mengatakan kalau lafal-lafal itu termasuk dalam shighat
muntahal jumu’.
5) Tanwin Ziyadah atau Tanwin Munasabah, yaitu tanwin yang
masuk pada isim ghairu munsharif dengan tujuan untuk mencocoki kalimah
yang lain, seperti (سَلاَسِلاً)
dengan ditanwin padahal lafal itu termasuk dalam sighat muntahal jumu’
yang tidak boleh ditanwin, karena untuk menyesuaikan dengan lafal setelahnya,
yaitu (اَغْلاَلاً).[10]
6) Tanwin Tarannum, yaitu tanwin yang masuk pada akhirnya bait atau qafiyyah
yang diucapkan karena bertemu dengan alif ithlaq (alif untuk
memanjangkan suara),[11]
seperti syair,
اَقِلِّي اللَّوْمَ
عَادِلْ وَ الْعَتَابَنْ
* وَ قُوْلِي اِنْ اَصَبْتِ لَقَدْ
اَصَابَنْ
Lafal (اَلْعَتَابَنْ) dan (اَصَابَنْ) asalnya (اَلْعِتَابَا) dan (اَصَاباَ), lalu alif ithlaq diganti tanwin
untuk meninggalkan tarannum atau meliuk-liukkan suara.
7) Tanwin Hikayah, yaitu tanwin yang masuk pada isim ghairu munsharif
untuk menceritakan aslinya, seperti (قَلَتْ عَاقِلَةٌ).[12]
Lafal (عَاقِلَة) ditanwin padahal seharusnya tidak boleh
ditanwin sebab termasuk katergori isim ghairu munsharif, karena ada dua
illat yaitu ta’nits dan ‘alamiyyah (: dijadikan nama), dan
membacanya dengan tanwin adalah bertujuan untuk menceritakan lafal itu sebelum
dijadikan nama.
8) Tanwin Dlarurat, yaitu tanwin yang masuk pada munada (: lafal
yang diseru) yang mabni, baik mabninya rafa’ atau nashab,[13]
seperti
سَلاَمُ اللهِ يَا مَطَرٌ
عَلَيْهاَ * وَ لَيْسَ عَلَيْكَ يَا مَطَرُ
السَّلاَمُ
9) Tanwin Ghali, yaitu tanwin yang masuk pada qafiyyah al-muqayyadah
atau akhir bait yang huruf akhirnya berupa huruf shahih yang mati,[14]
seperti syair,
وَ قَائِمُ
الْأَعْنَاقِ خَاوِي الْمُحْتَرِقَنْ
Lafal (الْمُحْتَرِقَنْ) asalnya adalah (اَلْمُحْتَرِقْ), kemudian diberi nun untuk menyesuaikan
wazan, lalu dibutuhkan untuk mengharakati qaf supaya selamat dari bertemunya
dua huruf mati.
10) Tanwin Syudzudz atau Tanwin Hamzi, yaitu tanwin yang masuk
pada lafal (هَؤُلاَءِ)
dengan jalan syadz yang berfaidah untuk menunjukkan makna banyak,
seperti, هَؤُلاَءِ قَوْمُكَ[15]
Dari sepuluh macam tanwin yang telah
disebutkan di atas, para ulama telah bersepakat hanya ada empat macam tanwin
yang bisa masuk pada kalimah isim, yaitu tanwin tamkin, tankir, ‘iwadl
dan muqabalah.[16]
Dan ada empat macam tanwin lagi yang kekhususannya masuk dalam kalimah isim
masih dipertentangkan oleh para ulama, namun pendapat yang unggul (rajih)
mengatakan kalau keempat tanwin tersebut masuk dalam kekhususan kalimah isim,
yaitu tanwin dlarurat, tanwin ziyadah, tanwin hikayah dan
tanwin taksir.[17]
Sedangkan, tanwin tarannum dan tanwin ghali menurut qaul rajih
bisa masuk pada kalimah isim, kalimah fi’il dan kalimah huruf.[18]
Tanda kalimah isim yang ketiga adalah bisa diberi huruf jer, yaitu (مِنْ), (اِلَى), (عَنْ), (عَلَى), (فِي), (رُبَّ), (باء), (كاف), (لام), dan huruf qasam, yaitu (واو), (باء) dan (تاء), seperti (مَرَرْتُ بِزَيْدٍ).
Huruf jer hanya terkhusus masuk pada
kalimah isim karena huruf tersebut dibuat untuk menarik kalimah isim pada
maknanya fi’il yang bisa muta’addi dengan dirinya sendiri.[19]
Dengan begitu, huruf jer tidak bisa masuk pada suatu kalimah kecuali setelah
wujudnya fi’il dalam lafal itu, seperti (مَرَرْتُ بِزَيْدٍ), atau setelah wujudnya fi’il dalam perkiraan,
seperti, (بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ) dengan ditakdirkan (اَبْتَدِئُ).
Tanda kalimah isim yang keempat adalah bisa diberi (اَلْ), baik yang zaidah, ta’rif
atau maushulah,[20]
misal yang zaidah (جَاءَ الزَّيْدُ),
yang ta’rif (جَاءَ الرَّجُلُ)
dan yang maushulah seperti (جَاءَ الضَّارِبُ). Adapun (اَلْ) istifhamiyyah, tidak bisa masuk
pada kalimah isim tetapi masuk pada kalimah fi’il, seperti (اَلْ فَعَلْتَ كَذَا؟).[21] Adapun
masuknya (اَلْ) maushulah
pada fi’il mudlari’, hukumnya adalah qalil, seperti pada syair,[22]
مَا اَنْتَ
بِالْحُكْمِ الْتُرْضَى حُكُوْمَتُهُ
* وَ لاَ الْأَصِيْلِ وَ لاَ ذِيْ
الرَّأْيِ وَ الْجَدَلِ
Yang penakdirannya adalah (اَلَّذِي تُرْضَى
حُكُوْمَتُهُ).
[1] Tasywiq
al-Khillan, hlm. 16
[2] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 19
[3] Asymawi, hlm.
10
[4] Tasywiq
al-Khillan, hlm. 22
[5] Tasywiq
al-Khillan, hlm. 22
[6] Kawakib
al-Durriyyah, juz. I, hlm. 18
[7] Ibnu ‘Aqil, Hamisy
Hasyiyah al-Hudhari, Juz. I, hlm. 19
[8] Hasyiyah
al-Hudhari, juz. I, hlm. 3
[9] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 11
[10] Kawakib
al-Durriyyah, juz. I, hlm. 18
[11] Hasyiyah
al-Hudhari, juz. I, hlm. 20
[12] Fath Rabb
al-Bariyyah, hlm. 9
[13] Kawakib
al-Durriyyah, juz. I, hlm. 18
[14] Hasyiyah
al-Hudhari, juz. I, hlm. 20
[15] Kawakib
al-Durriyyah, juz. I, hlm. 18
[16] Syarah Ibnu
‘Aqil, hlm. 4
[17] Syarah Ibnu
‘Aqil, hlm. 4
[18] Kawakib
al-Durriyyah, juz. I, hlm. 18
[19] Tasywiq
al-Khillan, hlm. 21
[20] Muqarrarat
al-Ajurumiyyah, hlm. 4
[21] Fath Rabb
al-Bariyyah, hlm. 10
[22] Fath Rabb
al-Bariyyah, hlm. 10
No comments:
Post a Comment